Intoleransi dan Ektremisme Jadi Ancaman Dunia, Yenny Wahid: untuk Menangkalnya Libatkan Minoritas

19 November 2020, 21:37 WIB
Yenny Wahid berbicara mengenai Intoleransi dan ekstremisme. /@yennywahid/Instagram

PR BEKASI – Yenny Wahid, seorang aktivis islam dan juga anak kandung dari Presiden RI ke 4 yaitu Abdurrahman Wahid atau Gusdur berbicara mengenai Intoleransi dan ektremisme.

Berdasarkan pengalamannya selama ini, salah satu aksi penting untuk menangkal ekstremisme adalah melibatkan minoritas.

Ia juga menguraikan strategi yang dijalankan oleh Wahid Foundation bersama pemerintah dan jaringan masyarakat sipil dalam menghalau intoleransi dan ekstremisme kekerasan.

Baca Juga: Habib Rizieq Dikabarkan Menghilang, FPI Rilis Kondisi Terbarunya

Dalam kesempatan yang sama, sebagai upaya menghalau intoleransi dan ekstremisme, Yenny Wahid juga menjelaskan bahwa ada tiga kunci strategi yang harus diperhatikan.

"Yang pertama adalah pelibatan kelompok minoritas, perempuan, pemuda, dan kelompok rentan lainnya dalam upaya pemberdayaan. Kedua, peningkatan peran dan kapasitas organisasi masyarakat sipil dalam mengadvokasi dan mengimplementasikan nilai-nilai inklusif," kata Yenny Wahid, sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari situs islami.co pada Kamis, 19 November 2020.

"Ketiga, arus utama kebijakan dan kesadaran publik terhadap isu kesetaraan," sambungnya.

Baca Juga: Terkait Kehadiran di Bareskrim Polri Besok, Ridwan Kamil: Hanya Dimintai Keterangan, Bukan Diperiksa

Hal itu disampaikan Yenny Wahid dalam diskusi terbatas yang digelar secara virtual oleh Wahid Foundation bekerjasama dengan Kedutaan Besar Uni Emirat Arab (UE) di Jakarta, Senin, 16 November 2020.

Acara tersebut digelar bertepatan dengan momentum Hari Toleransi Sedunia pada 16 November 2020

Diskusi ini membahas strategi, pengalaman, dan pembelajaran UEA dan Indonesia terkait upaya penguatan toleransi, penanggulangan dan pencegahan kekerasan ekstremisme di masing-masing negara dan di dunia internasional.

Baca Juga: FPI Suarakan 'Anies for Presiden 2024', Refly Harun Sudah Ingatkan: Mesin Politik Belum Perlu Panas

Intoleransi dan ekstremisme kekerasan masih terus menjadi ancaman di berbagai belahan dunia. Negara maupun organisasi masyarakat sipil perlu terus mengembangkan strategi yang efektif dan beradaptasi dengan situasi baru yang berkembang.

Uni Emirat Arab (UEA) dan Indonesia sama-sama memiliki modalitas dan pengalaman yang kuat untuk melawan ekstremisme kekerasan dan memperkuat toleransi serta moderasi beragama di dunia.

Diskusi yang berlangsung sekitar dua jam ini memperlihatkan kesamaan kepentingan dan komitmen UEA dan Indonesia yang sama-sama menaungi penduduk dari berbagai latar belakang agama, etnis, dan kebangsaan.

Baca Juga: Ternyata dalam Islam Seorang Wanita Diperbolehkan Bekerja di Luar Rumah, Asal dengan Syarat Ini

Lebih lanjut, diskusi ini menjadi wadah yang efektif untuk saling bertukar ide, pengalaman, dan pembelajaran bagi kedua negara maupun organisasi masyarakat sipil dalam mendesain intervensi yang tepat untuk mencegah dan menangani intoleransi dan ekstremisme.

Selain Yenny Wahid, dalam diskusi tersebut hadir juga sebagai narasumber yaitu Duta Besar UEA untuk Indonesia, Abdulla Salem AlDhaheri, Direktur Wahid Foundation Yenny Zannuba Wahid dan Executive Director the World Muslim Communities Council Dr. Hasan AlMarzooqi.

Diskusi yang dipandu oleh Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Mujtaba Hamdi, itu juga dihadiri sejumlah organisasi masyarakat sipil yang bergerak di isu toleransi, pencegahan dan penanggulangan ekstremisme kekerasan, seperti Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Maarif Institute, Peace Generation, Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M), SeRVE Indonesia, The Habibie Center dan Yayasan Prasasi Perdamaian.

Baca Juga: Berolahraga Pakai Masker Berpengaruh Terhadap Fungsi Paru-Paru? Ini Penjelasan Peneliti

Untuk informasi, Wahid Foundation didirikan oleh Presiden RI Abdurrahman Wahid atau Gusdur diluncurkan pada 7 September 2004, di Four Seasons Hotel di Jakarta.

Didirikan pada saat dunia belum sembuh dari rasa sakit dan panik yang disebabkan oleh tragedi 9 November 2001 di New York, dan ketika Indonesia telah mengalami berbagai wabah kekerasan komunal yang dipicu oleh sengketa atas nama agama dan etnis.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: islami.co

Tags

Terkini

Terpopuler