Tito Karnavian Ancam Pencopotan Gubernur, Refly Harun: Anies Bisa Kena, Jika Caranya Seperti Ini

20 November 2020, 09:47 WIB
Refly Harun (kanan) menilai Anies Baswedan (kiri) bisa saja dicopot dengan syarat-syarat tertentu. /Foto: Hafidz Mubarak A/Kolase dari ANTARA FOTO dan YouTube Refly Harun

PR BEKASI - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebut baru-baru ini bahwa seorang kepala daerah termasuk Gubernur bisa saja diberhentikan dari jabatannya.

Instruksi ini keluar selang sehari setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dipanggil untuk dimintai klarifikasi oleh Polda Metro Jaya terkait kerumunan di Petamburan Jakarta Pusat pada Sabtu, 14 November 2020.

Saat itu sekitar 10.000 orang berkumpul menghadiri pernikahan anak Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab (HRS) sekaligus peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Pemprov DKI Jakarta pun telah memberi sanksi kepada FPI dengan denda Rp50 juta.

Baca Juga: Sebut Pemerintah Tak Lagi Saingi Tiongkok atau AS, Fadli Zon: Lawannya Sekarang DKI dan Petamburan

Tito Karnavian mengeluarkan Instruksi Mendagri No. 6/2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Covid-19.

Pada aturan ini, kepala daerah dapat diberi sanksi hingga pemberhentian dari jabatan apabila terbukti mengabaikan penerapan protokol kesehatan.

Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Jokowi pada rapat terbatas kabinet di Istana Merdeka, Jakarta pada Senin, 16 November 2020.

Terdapat beberapa poin yang diinstruksikan Mendagri kepada seluruh kepala daerah dalam aturan tersebut.

Baca Juga: Turun Lagi! Buruan Tabung Emas Hari Ini, Harga per Gram Hanya Rp901.000

Pertama, kepala daerah secara konsisten menegakkan protokol kesehatan Covid-19 guna mencegah penyebaran Covid-19 di daerah.

Langkah itu berupa memakai masker, mencuci tangan dengan benar, menjaga jarak, dan mencegah terjadinya kerumunan yang berpotensi melanggar protokol tersebut.

Kedua, kepala daerah diinstruksikan untuk melakukan langkah-langkah proaktif untuk mencegah penularan Covid-19 dan tidak hanya bertindak responsif atau reaktif.

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara humanis dan penindakan termasuk pembubaran kerumunan yang dilakukan secara tegas dan terukur sebagai upaya terakhir.

Baca Juga: Viral Video Kafe di Jatim Ramai Tanpa Prokes, Netizen: Kapoldanya Malah Naik Jadi Kapolda Metro Jaya

Ketiga, kepala daerah sebagai pemimpin tertinggi pemerintah di daerah masing-masing harus menjadi teladan bagi masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan Covid-19, termasuk tidak ikut dalam kerumunan yang berpotensi melanggar protokol kesehatan.

Keempat, bahwa sesuai UU  Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda, diingatkan kepada kepala daerah tentang kewajiban dan sanksi bagi kepala daerah.

Berdasarkan instruksi pada diktum keempat, kepala daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dikenakan sanksi sampai dengan pemberhentian.

Baca Juga: Sindir Hasil Vonis Jerinx, Sosiolog: Kalau Marah Jangan Pakai Istilah 'Kacung', Lebih Aman 'Lonte'

Menanggapi hal tersebut pakar hukum tata negara, Refly Harun mengatakan, agar tidak terjadi kesimpangsiuran di masyarakat, maka kita harus paham soal pemberhentian seorang Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang notabenenya pejabat terpilih oleh rakyat secara langsung.

"Jadi kalau dia pejabat yang dipilih secara langsung termasuk juga anggota DPRD, proses pemberhentiannya tentu diatur dalam peraturan perundang-undangan, yang sedapat mungkin biasanya rigid pemberhentiannya, jadi tidak mudah dia diberhentikan sebagaimana pejabat administrasi atau pejabat politik yang tidak dipilih," ucapnya.

Dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari kanal YouTubenya, Jumat, 20 November 2020, Refly Harun menilai Anies Baswedan bisa saja dicopot dari Gubernur DKI Jakarta, namun ada beberapa sebab yang harus dipenuhi.

"Jadi seorang Gubernur itu dia bisa diberhentikan dengan beberapa sebab, ya sebagaimana yang dicantumkan dalam instruksi menteri ini yang tidak lain sebenarnya mengutip UU nomor 3 tahun 2014," ucapnya.

Baca Juga: Penuhi Undangan Bareskrim Polri, Ridwan Kamil Ajak 'Teman' Luruskan Polemik Acara Habib Rizieq

Refly Harun pun membeberkan beberapa penyebabnya, namun proses pemberhentian itu ternyata hanya bisa dilakukan setelah adanya putusan dari MK.

"Misalnya, dia bisa diberhentikan kalau dia misalnya bolos enam bulan berturut-turut, tidak menjalankan tugasnya atau dia tidak melaksanakan kewajibannya, atau dia melanggar larangan, atau dia melakukan pelanggaran hukum," tuturnya.

"Kemudian setelah ada proses misalnya penggunaan hak angket, tapi satu hal yang jelas, proses pemberhentian hanya bisa dilakukan setelah adanya putusan MK, jadi ada due process of law (proses hukum)," sambung Refly.

Namun jika bicara soal pendapat pribadi, Refly lebih memilih pada dinamika politik lokal ketimbang menggunakan tangan pemerintah pusat yang memang diperbolehkan menurut UU nomor 23 tahun 2014.

Baca Juga: Akun Twitter FPI 'Di-suspend', Sempat Beri Kabar Terkini Kondisi Habib Rizieq

"Jadi DPRD sebaiknya menggunakan fungsi-fungsinya, menggunakan hak-haknya, fungsi pengawasan dan hak-haknya untuk bertanya melakukan, interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat, yang kemudian bisa diproses ke MA untuk dimintakan pemberhentiannya dari sudut pandang hukum," ucapnya.

"Jadi ada proses politiknya di DPRD dan proses hukumnya di MA, setelah itu barulah bisa diberikan pemberhentian oleh pejabat yang berwenang, yaitu presiden untuk Gubernur dan Menteri Dalam Negeri untuk Bupati dan Wali Kota," kata Refly Harun.***

Editor: M Bayu Pratama

Tags

Terkini

Terpopuler