Sejumlah konten digital, lanjut dia, cenderung bersifat pascakebenaran atau post-truth bagi warganet. Pascakebenaran membuat warganet mudah percaya dengan konten tanpa mempertimbangkan sisi objektif.
"Di mana situasi objektif lebih sedikit pengaruhnya dibanding hal-hal yang mempengaruhi emosi dan kepercayaan personal dalam pembentukan opini publik. Kehadiran internet memudahkan akses publik pada ilmu pengetahuan, termasuk pengetahuan agama," kata dia.
Baca Juga: Terkait Kasus FPI, Kabareskrim Pastikan Akan Lakukan Penyidikan secara Profesional dan Transparan
"Sayangnya, tingginya gairah masyarakat untuk memperoleh informasi dan ilmu, termasuk ilmu agama, terkendala dengan rendahnya tingkat literasi di tengah masyarakat," katanya.
Era pascakebenaran, kata dia, menjadi tantangan ormas Islam karena konten digital banyak berisi hal berbau hoaks tanpa ada upaya klarifikasi informasi.
Dengan begitu, menurutnya, media sosial dipenuhi konten berisikan ujaran kebencian mengatasnamakan agama. Hal itu bisa melahirkan intoleransi di tengah masyarakat serta menjadi tantangan pada keharmonisan kehidupan berbangsa.***