PR BEKASI – Sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilaporkan tidak lolos tes wawasan kebangsaan.
Tes tersebut merupakan rangkaian proses pengalihan status pegawai KPK untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Hal ini pun menuai respons dari Rocky Gerung dalam diskusinya dengan jurnalis senior, Hersubeno Arief yang melihat ada gelagat aneh dari pemerintah.
Salah satu pegawai KPK yang tidak lolos adalah Novel Baswedan, penyidik senior KPK yang dikenal dengan integritasnya mengungkap kasus-kasus korupsi besar di Indonesia.
Rocky Gerung memandang peristiwa tidak lolosnya sejumlah pegawai KPK pada seleksi ASN merupakan sebuah gejala dari penyakit ‘gagal otak’ yang diderita oleh pemerintah.
Pemerintah gagal dalam membuat kebijakan yang masuk akal untuk mengatur negara. Sebab negara dianggap takut terhadap ‘musuh yang samar-samar’.
Sehingga pemerintah mengambil jalan untuk mengatur negara yang seharusnya bersifat metodologis, justru diatur dengan sesuatu yang sifatnya ideologis berkedok nasionalisme.
“Kita bisa duga kalau pemerintah tidak mampu lagi mengendalikan, maka ia mau mengendalikan dengan suatu ‘vitamin’ yang namanya nasionalisme," katanya.
"Ini seolah-olah gagal otak bisa diatasi dengan ‘vitamin’ nasionalisme. Itu gak bisa,” tutur Rocky Gerung dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari YouTube Rocky Gerung Official Rabu, 5 Mei 2021.
Hal tersebut jelas terlihat dari kekacauan kebijakan yang diambil pemerintah beberapa bulan belakang ini.
Salah satunya adalah dari pengujian pegawai KPK untuk menjadi ASN.
Baca Juga: Tak hanya di Indonesia, Opak Gula Merah Juga Jadi Jajanan Favorit di Suriah
Rocky Gerung mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tes tersebut tidak tepat untuk menyeleksi pegawai KPK, yang tugasnya adalah melakukan penyelidikan.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tes tersebut hanya berputar pada masalah ideologi, yang jawaban benar dan salahnya sudah diatur pemerintah.
Seharusnya pertanyaan yang diajukan adalah seputar keprofesian seorang penyidik, kapasitas, pengetahuan, dan kemampuan pegawai KPK untuk menangkap koruptor.
“Kalau masih dites tentang kewarganegaraan buat apa dikasih KTP? Yang perlu adalah kualifikasi khusus, yaitu keahlian ia (pegawai KPK) dalam menguber koruptor,” tutur Rocky Gerung.
“Saya menduga ini semacam upaya untuk mencurigai warga negara. Harusnya ditanya hal-hal yang berhubungan dengan kapasitas, pengetahuan,” ujar Rocky Gerung menambahkan.
Hersubeno Arief bahkan mengatakan jika proses seleksinya semacam itu, bisa saja walaupun ada seorang koruptor, tetapi mengaku ia berideologi Pancasila, bisa saja dibebaskan dari hukuman.
“Yang saya khawatirkan nanti, walaupun ia koruptor tapi kalau Ia mengaku Pancasila, ya dibebaskan," katanya.
"Tapi nanti kalau Ia walaupun bersih, tetapi terindikasi HTI atau FPI Ia tidak diterima,” tutur Hersubeno Arief.
Kebijakan pemerintah lain yang dianggap Rocky Gerung menjadi gejala penyakit ‘gagal otak’ adalah ditetapkanya Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional).
Megawati dianggap tidak memiliki kapasitas untuk menjadi dewan pengarah suatu badan riset nasional.
Rocky Gerung khawatir suatu badan penelitian nasional yang seharusnya diarahkan secara metodologi.
Oleh Megawati yang tidak berkapasitas dan cenderung doktriner, justru badan penelitian akan diarahkan secara ideologi.
Baca Juga: Ingin Rebut Kembali Motornya yang Dicuri, Pria Ini Malah Terancam Pidana
Di akhir, Rocky Gerung memandang keadaan Indonesia dalam bahaya, sebab sekarang semakin jelas kemiripannya dengan rezim nazi dan partai komunis China.
“Ini semacam single party, satu partai tunggal yang mengatur semua. KPK mau diatur, kewarganegaraan mau diatur, pendidikan mau diatur, penelitian mau diatur," kata Rocky Gerung mencurigai.
"Ini dulu adanya cuma ada di rezim nazi dan partai komunis Cina. Di mana ideologi mengatur metodologi. Itu bahayanya,” sambungnya.***