Permintaan Uang Kripto Meningkat, MUI Kaji FatwaHalal atau Haramnya

- 18 Juni 2021, 06:30 WIB
DSN - MUI kaji fatwa halal atau haramnya uang kripto yang dilaporkan bahwa  saat ini permintaannya semakin meningkat.
DSN - MUI kaji fatwa halal atau haramnya uang kripto yang dilaporkan bahwa saat ini permintaannya semakin meningkat. /Pixabay/MichaelWuensch

 

PR BEKASI - Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) melakukan kajian untuk menentukan fatwa halal atau haramnya bertransaksi aset uang kripto.

Kajian ini dalam rangka merespons peningkatan perdagangan aset kripto di kalangan masyarakat.

MUI membeberkan bahwa fatwa tersebut belum dikeluarkan, dikarenakan kajian masih berjalan, dan masih dalam tahap proses.

Sekretaris Badan Pelaksana Harian (BPH) DSN-MUI, Prof Jaih Mubarok, menjelaskan cryptocurrency biasa disebut kripto merupakan mata uang digital yang dibuat melalui proses dengan teknik enkripsi yang dikelola jaringan peer to peer, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari situs resmi MUI pada Jumat, 18 Juni 2021.

Baca Juga: Ada yang Kaitkan Pembatalan Haji 2021 dengan Datangnya Hari Kiamat, MUI Beri Balasan

Karenanya, hal ini termasuk dalam domain siyasah maliyyah yang eksistensinya bergantung pada ketentuan dan atau keputusan otoritas yang setidaknya memenuhi kriteria uang sebagaimana disampaikan Muhammad Rawas Qal‘ah Ji dalam kitab al-Mu‘amalat al-Maliyyah al-Mu‘ashirah fi Dhau’ al-Fiqh wa al-Syari‘ah

Mengutip pendapat Qal‘ah Ji di atas yang menekankan aspek legalitas uang, Prof Jaih menjelaskan uang (nuqud) adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan lembaga pemegang otoritas.

Atas dasar penjelasan tersebut, seandainya masyarakat dalam melakukan transaksi menggunakan unta (atau kulit unta) sebagai alat pembayaran, unta tersebut tidak dapat dianggap sebagai uang (nuqud), melainkan hanya sebagai badal (pengganti) atau ‘iwadh (imbalan).

Karena uang harus memenuhi dua kriteria yaitu:

Baca Juga: MUI Terima Kedatangan Pegawai KPK yang Tak Lolos TWK, Cholil Nafis: Mereka Mengadu dan Merasa Difitnah

1. Substansi benda tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara langsung melainkan hanya sebagai media untuk memperoleh manfaat.


2. diterbitkan lembaga yang memiliki otoritas untuk menerbitkan uang (antara lain bank sentral).

Prof Jaih mengatakan Umar Ibn al-Khaththab pada 18 Hijriyah menuliskan kata ”Bismillah,” ”al-Hamdu lillah,” ”Bismi Rabbi,” dan ”Muhammad Rasulullah” (sebagai simbol-simbol Islam) terhadap dinar dan dirham yang berasal dari Bizantium dan Persia.

Menurut ahli sejarah, orang pertama yang menerbitkan Dinar dan Dirham untuk diberlakukan di wilayah (Negara) Islam adalah Abd al-Malik Ibn Marwan (Khalifah Bani Umayah yang berkuasa setelah fase al-Khulafa’ al-Rasyidun) pada tahun 74 H.

Baca Juga: MUI Sebut Orang Terbebani Nyanyikan 'Indonesia Raya' Bisa Gila, Yunarto Wijaya: Ini Ngawur Sendiri?

Dirham dan Dinar dibuat sebagai responsi terhadap para gubernurnya yang membuat mata uang sendiri-sendiri di wilayahnya masing-masing.

Diantara gubernur yang membuat mata uang sendiri ialah al-Hajjaj pada tahun 75 H membuat dirham sendiri, yaitu Dirham Baghli, Abdullah Ibn Zubair membuat dinar sendiri dengan membubuhkan namanya pada dinar tersebut (yaitu Abdullah Amir al-Mu’minin), dan Mush‘ab Ibn Zubair (Gubernur Irak) membuat dirham khusus.

Prof Jaih juga menyinggung mengenai kedudukan harta yang diakui sebagai alat tukar (uang), yang pada dasarnya berfungsi sebagai standar nilai dari harta-harta lainnya.

Dalam sejarah dunia, termasuk juga dalam sejarah Islam, emas dan perak diberlakukan sebagai uang (nuqud) yang bernama dinar (emas) dan dirham (perak). Fungsi uang (nuqud) dijelaskan ulama sebagai berikut:

Baca Juga: Pengeras Suara Masjid di Arab Saudi Hanya untuk Azan-Iqomah, MUI: Indonesia Perlu Disadarkan

a. Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din (4: 91) menyampaikan bahwa Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim (pemutus) dan penengah atau mediator (mutawasith) terhadap harta-harta lain untuk mengetahui nilai (qimah)-nya;

b. Ibn Khaldun dalam kitab Muqaddimah (680) menyatakan bahwa Allah menciptakan logam emas dan perak sebagai nilah (qimah) bagi semua harta lainnya; dan

c. Sarkhasi dalam kitab al-Mabsuth (2: 191) menyatakan bahwa emas dan perak dalam berbagai bentuk, diciptakan Allah sebagai substansi nilai (qimah) atau harga.

“Ulama membedakan harta menjadi harta al-nuqud (secara harfiah berarti harga atau standar harga [al-tsamaniyyah]) dan harta al-‘urudh yang secara harfiah berarti barang,” ujar Prof Jaih.

Baca Juga: Serukan Umat Muslim Salat Gerhana Bulan, MUI: Mari Jadikan Renungan Mendekatkan Diri pada Allah SWT

Sementara itu kata dia, Al-naqd (al-nuqud; jamak) secara harfiah berarti al-kasyf (pengungkapan); yaitu mengungkapkan sesuatu dan penampakannya.

Arti al-nuqud secara istilah adalah sesuatu yang diterima masyarakat umum sebagai media pertukaran dan standar/pengukur nilai atas barang dan jasa, baik terbuat dari barang tambang (logam) ataupun dari kulit.

Sedangkan harta ‘ardh adalah harta yang disepakati dan/atau ditetapkan otoritas bukan sebagai alat tukar; al-‘ardh dapat berupa tumbuhan, hewan, dan benda-benda tidak bergerak serta semua benda yang termasuk harta.***

Editor: Rinrin Rindawati

Sumber: MUI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x