Presiden dan DPR Serukan Kasus Omnibus Law ke MK Saja, Pakar: Seolah Menjadikan MK Keranjang Sampah

- 13 Oktober 2020, 09:58 WIB
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. /SIP Law Firm

PR BEKASI – Omnibus Law yang disahkan oleh pemerintah mengundang reaksi dari berbagai elemen masyarakat.

Buruh, mahasiswa, dan masyarakat lainnya turun ke jalan untuk menyerukan penolakan dan atau pembatalan Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law.

Pemerintah pun menanggapi aksi turun ke jalan ini dengan menyerukan agar yang merasa keberatan dan tidak setuju untuk mengajukan gugatannya ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca Juga: Ungakap Alasan Keluar dari Demokrat, Ferdinand Hutahaean: AHY Jadi Ketum, Demokrasi Tidak Berjalan

Proses judicial review di Mahkamah Konstitusi bukan satu-satunya cara untuk mengubah atau membatalkan undang-undang.

“Seruan Presiden Joko Widodo atau Jokowi agar pihak yang tidak puas terhadap Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi bak lempar batu sembunyi tangan,” ucap Said Salahudin, Pemerhati Hukum Tata Negara yang juga Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari situs KSPI pada 13 Oktober 2020.

“Tidak sepantasnya pemerintah lempar tangan soal omnibus law ini kepada lembaga negara yang lain. Dengan cara seperti itu pemerintah seolah menjadikan MK keranjang sampah. Konstitusionalitas undang-undang dianggap hanya urusan MK, sementara DPR dan pemerintah bisa bebas menyimpangi konstitusi,” tambahnya.

Baca Juga: Sahrul Gunawan Dikabarkan Meninggal Dunia Akibat Kecelakaan,Sejumlah Artis Banjiri Kolom Komentar

Jika DPR dan Presiden memiliki kepekaan terhadap aspirasi rakyat, semestinya tuntutan masyarakat itu mereka selesaikan sendiri, bukan dilempar ke lembaga lain.

Hal ini sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa (TAP MPR VI/2001) dengan tegas disebutkan bahwa dalam etika politik dan pemerintahan, pemerintah dituntut untuk tanggap terhadap aspirasi rakyat.

Sistem hukum Indonesia mengatur bahwa dalam membentuk undang-undang, DPR dan Presiden harus tetap memperhatikan ketentuan UUD 1945 dan aspirasi rakyat.

Apa yang dituntut oleh buruh, mahasiswa, dan elemen masyarakat lain pada aksi demonstrasi besar-besaran yang beberapa waktu ini terjadi adalah sudah jelas meminta DPR dan Presiden sendiri yang membatalkan UU Ciptaker, bukan MK.

Baca Juga: Unik, Keluarga di Sumatra Barat Miliki Mata Biru Seperti Kucing, 'Menangis' Saat Lihat Matahari

“Jadi, jangan gurui mereka untuk melakukan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Para pendemo itu bukan orang bodoh yang tidak mengerti prosedur pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi,” tuturnya.

Aksi turun ke jalan yang dilakukan adalah untuk menuntut kesadaran DPR dan Presiden agar membatalkan sendiri UU Cipta Kerja yang merugikan rakyat.

Apa yang dituntut oleh rakyat atau para demonstran itu dalam teori hukum tata negara disebut dengan legislative review atau pengujian produk legislasi oleh lembaga legislatif. Dalam hal ini DPR selaku legislator dan Presiden selaku co-legislator.

Pengunjuk rasa juga menuntut agar Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang undang (Perppu) agar UU Cipta Kerja bisa dibatalkan dalam waktu yang lebih cepat.

Baca Juga: Unik, Keluarga di Sumatra Barat Miliki Mata Biru Seperti Kucing, 'Menangis' Saat Lihat Matahari

Aspirasi rakyat ini disebut dengan proses executive review atau peninjauan kembali perangkat hukum oleh badan pemerintah dan Presiden memiliki kewenangan tersebut.

Jadi yang dituntut oleh masyarakat ini sudah jelas merupakan legislative review atau executive review, bukan judicial review, sehingga DPR dan Presiden bisa membatalkan UU Cipta Kerja ini tanpa harus ada gugatan ke MK.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: KSPI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah