Banyak Kasus Kekerasan Seksual Saat Demo Omnibus Law, Kompaks Tuntut RUU PKS Jadi Prolegnas DPR 2021

- 14 Oktober 2020, 17:38 WIB
Ilusrtasi: Pekerja perempuan yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI)-Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi di depan kantor Kementerian PPPA, Jakarta pada Jumat, 6 Maret 2020.*
Ilusrtasi: Pekerja perempuan yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI)-Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi di depan kantor Kementerian PPPA, Jakarta pada Jumat, 6 Maret 2020.* /ANTARA/MUHAMMAD ADIMAJA/

PR BEKASI – Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks) mengecam kekerasan seksual yang terjadi dalam aksi penolakan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (UU Ciptaker).

Melalui press release yang diunggah oleh akun Instagram @perempuan_pekerja, Kompaks menyampaikan pernyataan sikap yang mengecam kekerasan seksual yang terjadi di kalangan demonstran, dengan sebagian besar korban adalah perempuan.

"Kami memahami kemarahan masyarakat atas disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja. Namun, kekerasa seksual juga merupakan bentuk penindasan kuasa yang dilanggengkan," ujar Kompaks dalam pernyataannya.

Baca Juga: Satu Keluarga di Jawa Timur Tewas Tersengat Listrik Jebakan Tikus, Polisi Jelaskan Kronologinya

 

Mereka menilai bahwa perbuatan tersebut merupakan hal tercela, ketika perjuangan rakyat untuk melawan penindasan penguasa harus tereplikasi dalam aksi-aksi penuh pelecehan pada rakyat, atau bahkan rekan seperjuangan dalam menolak UU Ciptaker.

"Kami sebagai perempuan pekerja, rakyat Indonesia juga marah atas sikap-sikap yang melanggengkan kekerasan seksual. Terlebih lagi sikap para pihak yang menutup mata atas kekerasan seksual yang terjadi, pada aksi untuk kesolidan suatu gerakan," tutur Kompaks.

Di saat perempuan ikut berjuang menyuarakan aspirasinya, kekerasan seksual terjadi bahkan di kalangan rekan juang sendiri.

Baca Juga: Polisi Sebut Bosan Belajar Jarak Jauh Jadi Alasan Pelajar Ikut Demo Tolak Omnibus Law

Selain itu, tidak adanya sistem hukum yang melindungi perempuan, membuat perempuan semakin rentan di tengah aksi.

Kerentana perempuan pun semakin terlihat, dengan dibukanya platform aduan kekerasan seksual melalui akun Instagram @perempuan_pekerja.

Aduan kekerasan seksual tersebut dibuka sejak aksi ‘Batalkan Omnibus Law’ tertanggal 8 sampai 13 Oktober 2020, dan terjadi diberbagai daerah di Indonesia seperti Semarang, Tegal, Jakarta, Gorontalo, Surabaya, dan Yogyakarta.

Baca Juga: Jimly Asshiddiqie Kritik Gubernur yang Surati Presiden, Denny Siregar: Gua Juga Gak Paham

"Hingga hari ini, Selasa, 13 Oktober 2020, kami telah menerima sebanyak 17 laporan melalui fitur direct message (DM), dengan sebagian besar korban adalah perempuan yang berasal dari massa aksi, anggota tim medis, dan jurnalis," tutur Kompaks.

Korban kekerasan seksual terdiri dari laki-laki dan perempuan, meskipun laporan paling banyak berasal dari korban perempuan.

Aduan kekerasan seksual saat aksi, yang dilaporkan kepada Kompaks antara lain kekerasan seksual (fisik), seperti disentuh/diremas bagian tubuh (payudara, pantat, dan punggung) secara sengaja, dan kekerasan fisik seperti diseret paksa dan didorong hingga terjatuh.

Baca Juga: Bappenas Ingatkan Protokol Kesehatan Wajib Diterapkan dalam Pembukaan Destinasi Wisata

Kemudian Pelecehan seksual nonfisik seperti catcalling, tatapan mesum, menertawakan cara berpakaian, mengobjektifikasi bagian tubuh, melontarkan kata-kata mesum, tidak senonoh dan seksis.

Penguntitan atau diikuti orang tidak dikenal, pengambilan foto tanpa izin, dan komentar seksis di media sosial.

Lalu Kekerasan Berbasis Gender Online (KGBO) seperti penyebaran informasi pribadi kepada orang lain di media sosial (doxing), dan merekayasa foto menjadi bernuansa seksual yang bertujuan untuk mengolok-olok, mempermalukan, dan merugikan korban (Morphing).

Baca Juga: Topang Keruntuhan Sektor Pariwisata, Pemerintah Salurkan Dana 3 Triliun

"Dari laporan yang kami terima, pelaku terdiri dari tiga golongan, yaitu massa aksi sendiri (mahasiswa), polisi, serta orang yang tidak diketahui perannya namun ada di lokasi aksi," ujar Kompaks.

Dalam setiap laporan, para korban mampu menjelaskan secara detail ciri-ciri pelaku, seperti pakaian yang dikenakan pelaku pada saat kejadian, akan tetapi korban sulit mengenali wajah pelaku.

Hal tersebut disebabkan karena kekerasan seksual yang dialami oleh korban, terjadi di tengah aksi yang tidak kondusif.

Baca Juga: Jadwal SAMSAT Keliling Kamis, 15 Oktober 2020 Akan Buka 14 Lokasi di Jabodetabek

Kompaks sebagai koalisi yang fokus dan menyuarakan isu-isu terkait kekerasan seksual, dan peduli akan keadilan serta pemulihan bagi korban pun menyampaikan kecaman terhadap segala bentuk kekerasan seksual.

Atas aduan tersebut, maka Kompaks pun menyatakan mengecam segala bentuk kekerasan seksual yang dilakukan selama aksi ‘Batalkan Omnibus Law’ yang dilakukan oleh massa aksi, polisi, dan orang yang tidak diketahui perannya namun ada di lokasi.

Kemudian mengapresiasi keberanian korban kekerasan seksual yang berani bersuara dan melapor melalui platform Instagram @perempuan_bekerja.

Baca Juga: Kabar Gembira, 20 Persen Warga Bekasi Akan Dapat Vaksin Covid-19 Bulan Depan

Menuntut setiap organisasi/kolektif gerakan masyarakat, organisasi/kolektif masyarakat sipil dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), agar membuat prosedur aksi pencegahan dan mitigasi kekerasan seksual.

Prosedur tersebut dengan seminimalnya menjamin perlindungan kepada korban kekerasan yang sudah berani melapor, mengupayakan penyelesaian kasus melalui pembukaan saluran pelaporan bagi korban, melakukan investigasi internal di masing-masing organisasi/kolektif, dan memberikan sanksi bagi pelaku dari anggota organisasi yang terbukti melakukan kekerasan seksual.

Lalu menuntut DPR untuk menjadikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai program legislasi nasional periode 2021.

Baca Juga: Antisipasi Covid-19 di Pilkada 2020, Komisioner KPU Sebutkan 13 Benda yang Wajib Ada di Setiap TPS

Terakhir, mengajak seluruh masyarakat untuk mencegah, berpartisipasi, dan tidak diam saat melihat kekerasan seksual terjadi di sekitar kita.

"Solidaritas kami adalah solidaritas kepada korban. Kami menolak kekerasan seksual yang terjadi dalam aksi, dan kami akan terus melawan pembiaran-pembiaran yang menciderai rasa kemanusiaan dan keadilan!." tutur Kompaks.***

Editor: Ikbal Tawakal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x