Komentari Pasal Karet UU ITE, Haris Azhar: Kalo Memang Harus Ditangkap Ya Kita Reuni di Penjara

- 4 November 2020, 11:57 WIB
Pendiri Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia Lokataru di Jakarta, Haris Azhar.
Pendiri Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia Lokataru di Jakarta, Haris Azhar. /Instagram/ @azharharis

PR BEKASI - Beberapa waktu belakangan ini memang dimensi untuk mengemukakan pendapat di tengah masyarakat Indonesia semakin mengecil dan dibayang-bayangi oleh ketakutan.

Seperti yang kita ketahui hal tersebut terbukti dari survei Indikator Politik Indonesia beberapa waktu lalu yang menunjukkan bahwa hampir 80 persen warga Indonesia makin takut menyuarakan pendapat mereka.

Hal tersebut terjadi karena saat ini penggunaan UU ITE dapat merambat kemana-mana, atau biasa diistilahkan sebagai pasal karet karena tidak memiliki tolak ukur yang jelas.

Baca Juga: Menakjubkan! Balita Tiga Tahun Selamat Usai Tertimpa Reruntuhan Gempa Turki Selama 91 Jam

Tentu polemik ini mendapat perhatian dari seorang aktivis HAM sekaligus pendiri Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia Lokataru, Haris Azhar.

Menurutnya memang situasi yang dihadapi saat ini akan menambah ancaman terhadap kebebasan berpendapat, berekspresi.

"Sebelum masuk ke ITE saya mau mengatakan bahwa ancaman tersebut tidak hanya di ITE, di nondigital juga terjadi, kenapa saya perlu membicarakan non digital, karena pemberlakuan UU ITE tidak hanya kepada digital, kadang-kadang  dia dijadikan penghubung," ucapnya.

Baca Juga: Kecewa Jerinx SID Dituntut 3 Tahun Penjara, dr. Tirta: Terlalu Berat, Dia Gak Membunuh atau Mencuri

Dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari kanal YouTube Indonesia Lawyers Club, dia pun mencontohkan sebuah kasus yang pernah ditanganinya saat menjadi kuasa hukum Rocky Gerung

"Saya pernah jadi kuasa hukumnya Rocky untuk satu pelaporan statement-nya Rocky, dan ketika saya datang di pemeriksaan tersebut, ternyata polisi menjadikannya itu sebagai pasal siber karena ada yang upload, padahal kegiatannya offline tapi di-upload," tuturnya.

Tak hanya itu, contoh kasus lain serupa pun belau sampaikan untuk memperjelas maksud dari UU ITE yang sudah merambat ke ranah nondigital.

Baca Juga: Menjelang Akhir Hidupnya, Legenda Sepak Bola Jerman Gerd Muller Terbujur Kaku di Panti Jompo

"Saya mendampingi dua orang aktivis, satu aktivis, satu dosen di Manado yang mengkritik soal ijazah palsu seorang rektor, orang ini melapor ke ombudsman, ombudsman punya laporannya luar biasa, karena saya lawyernya dia, jadi saya bilang laporannya bagus, membuktikan bahwa ijazah S3 rektor tersebut di Prancis palsu," ucapnya.

"Dia datang pake laporan ombudsman ke Mendikbud gak digubris, dateng lagi gak digubris. Lalu dia demonstrasi, difoto sama orang dinaikin di Facebook dia kena ITE, jadi dia tidak memposting di Facebook tapi dia kena ITE, saya mau mengatakan bahwa ada situasi yang offline dalam pemidanaannya yang banyak terjadi." tutur Haris Azhar.

Menurutnya justru konteks offline yang lebih ramai ancamannya seperti pada kasus reformasi dikorupsi pada september 2019 dan aksi massa tolak Omnibus Law.

Baca Juga: Pernah Kecanduan Putaw, Abdel Mengaku Berhenti Konsumsi Narkoba di Detik-detik Ibunya Wafat

"Yang non digital offline serangan terhadap para demonstran, anak muda, mahasiswa, dan pelajar itu banyak terjadi. Di kantor saya di lokataru, sudah bikin pemetaan dan itu banyak sekali misalnya infiltrasi atau pemantauan rapat-rapat mahasiswa, itu terjadi," tuturnya.

Sementara menurutnya dalam konteks digital, ada sekelompok orang, akun, tagar-tagar campaign yang digunakan untuk menyerang kelompok mahasiswa dan kelompok lain yang mengkritik negara.

"Nah mereka biasa disebutnya sebagai buzzer, dari beberapa perdebatan negara tidak mau mengakui bahwa itu mereka, persoalannya kemudian adalah tidak ada tindakan tegas kepada mereka, kenapa kita nuntut tindakan tegas, sebetulnya bukan dalam konteks ideal harus ada ketegasan," ucapnya.

Baca Juga: Ada Salah Rujukan di Pasal UU Cipta Kerja, PSHK: Menunjukkan Proses Legislasi yang Tidak Transparan

Yang dimaksud oleh Haris Azhar adalah tegas kepada orang-orang kritis terhadap negara dan juga terhadap mereka yang mengganggu akun-akun lain, menyerang dan sebagainya seperti buzzer

"Jadi ada double standard, di situ perlakuan negara atau penegak hukum untuk dua kontradiktif kelompok di dalam dunia digital, yang juga punya kaitan dengan massa yang non digital," tuturnya.

Karena Haris Azhar pernah memenangkan perkara UU ITE dari seorang kliennya di Surabaya terkait oknum kebun binatang yang menukar satwanya dengan sebuah mobil.

Baca Juga: Harga Emas Rabu 4 November 2020, Naik Tipis dari Hari Sebelumnya

Haris Azhar menyatakan bahwa tidak ada masalah dalam UU ITE hanya pelaksanaan dan penafsirannya harus dilakukan secara adil.

"Sampai di situ saya juga mau bilang sama masyarakat kita jangan takut kalo memang harus dipenjara, ditangkap gara-gara kita dituduh tindak pidana ITE, ya kita reuni di penjara," ucapnya.

Dirinya pun menceritakan bahwa banyak teman-temannya yang takut berpendapat karena begitu dikenai pasal polisi mereka bilang, "Bang kan saya ada bini bang."

Baca Juga: Jadwal Pemadaman Listrik Bekasi Hari Ini Rabu 4 November 2020, Tiga Wilayah Ini Terdampak

"Yaelah ngritik berani masa pas kena pasal polisi takut, harus berani juga, harus bergelora lah," ucapnya.

"Jadi harus berani juga, tetapi dalam rangka keberanian itu, pemenjaraan itu dalam rangka mencari penafsiran, kalau kita takut masuk ke dalam wilayah penafsiran, ya kita bisa melihat ITE ini sebagai hantu," tuturnya menambahkan.

"Tetapi kalau kita berani seperti kasus yang di Surabaya itu, saya pikir ITE ini jadi zona yang bisa kita perdebatkan.Dari situ nanti bisa masuk ke penafsiran dalam pemberlakuannya," tutur Haris Azhar.***

Editor: Puji Fauziah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah