Penelitian Terbaru: Perubahan Iklim Membuat Cahaya Bumi Semakin Redup

- 7 Oktober 2021, 15:30 WIB
Ilustrasi. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa cayaha bumi semakin redup karena perubahan iklim.
Ilustrasi. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa cayaha bumi semakin redup karena perubahan iklim. /PIXABAY/comfreak

PR BEKASI - Menurut penelitian terbaru, Bumi memantulkan lebih sedikit cahaya karena iklimnya terus berubah.

Fenomena indah yang menghubungkan iklim dan kecerahan Bumi adalah awan.

Awan merupakan bagian teka-teki iklim yang terkenal rumit. Para ilmuwan berjuang untuk memodelkan bagaimana awan akan merespons perubahan iklim dan bagaimana respons tersebut pada gilirannya akan membentuk iklim masa depan.

Baca Juga: Gempa Bumi Guncang Pakistan saat Warga Terlelap, 20 Orang Meninggal

Tetapi para ilmuwan di balik penelitian terbaru berpikir bahwa semua temuan terkait reflektifitas bergantung pada dinamika awan di atas Samudra Pasifik.

Dikutip Pikiranrkayat-Bekasi.com dari Live Science, Kamis, 7 Oktober 2021, penelitian ini bergantung pada pengamatan selama dua dekade dari sebuah fenomena yang disebut 'Earthshine'.

Earthshine yang merupakan cahaya pantulan dari Bumi ke permukaan sisi gelap Bulan, lalu dikombinasikan dengan pengamatan satelit dari reflektifitas Bumi atau Albedo, dan kecerahan Matahari.

Baca Juga: Prediksikan Kiamat, Ilmuwan: Kiamat Akan Terjadi Saat Bulan Menjauh dari Bumi

Fitur yang berbeda di Bumi mencerminkan jumlah cahaya yang berbeda: lautan sangat sedikit, sedangkan daratan mendapat sekitar dua kali lebih banyak.

Sementara itu, awan memantulkan sekitar setengah dari sinar matahari yang mengenai mereka, dan salju serta es memantulkan sebagian besar cahaya yang mereka terima.

Para ilmuwan di Big Bear Solar Observatory di California Selatan telah mempelajari bagaimana cahaya Bumi berfluktuasi sejak 1998. Mereka mencari perubahan skala waktu dari harian ke dekade.

Baca Juga: Kecelakaan Maut di Tol Purbaleunyi Bandung Siang Tadi, Paku Bumi Tembus Kaca Truk Sopir Kontainer

Para peneliti mencatat bahwa pengukuran ini masih relatif dan memerlukan pengamatan yang lebih kuat, bahkan mungkin dari cubesats (satelit versi miniatur untuk penelitian ruang angkasa) atau obsertavorium Bulan.

Dalam penelitian baru, para Ilmuwan menggabungkan data itu dengan pengamatan dari proyek Cloud NASA dan Earth's Radiant Energy System (CERES), yang telah beroperasi sejak 1997 dengan instrumen pada sejumlah satelit NASA dan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).

Para peneliti mengumpulkan dua set data untuk mengetahui apakah dan bagaimana kecerahan Bumi telah berubah.

Baca Juga: NASA Deteksi Asteroid Raksasa Meluncur Dekati Bumi Minggu Depan, Siap-siap Bencana Dahsyat?

Selama rentang dua dekade penuh, jumlah cahaya yang dipantulkan Bumi turun sekitar 0,5 persen atau sekitar setengah watt lebih sedikit cahaya per meter persegi.

Sebagian besar perubahan terjadi dalam tiga tahun terakhir dari kumpulan data earthshine, yang dianalisis oleh para peneliti hingga 2017; data CERES berlanjut hingga 2019 dan menunjukkan penurunan yang lebih tajam pada akhirnya.

Dan selama waktu itu, para peneliti menentukan, kecerahan matahari yang melewati dua periode aktivitas maksimum dan satu periode tenang selama penelitian tidak terhubung secara bermakna dengan penurunan reflektansi.

Baca Juga: Ilmuwan Sebut Bumi Bisa Alami Kiamat Bila Dihantam Badai Matahari Dahsyat

Jadi menurut para ilmuwan, perubahan jumlah cahaya yang dipantulkan Bumi pasti berasal dari perubahan di Bumi itu sendiri.

Secara khusus, data CERES mencatat hilangnya awan terang di ketinggian rendah di atas Samudra Pasifik timur, di lepas pantai barat Amerika, di mana para ilmuwan juga mencatat peningkatan suhu yang mencolok di permukaan laut.

Dan karena cahaya yang tidak dipantulkan ke luar angkasa terperangkap dalam sistem Bumi, perubahan kecerahan juga berimplikasi pada iklim masa depan, yang berpotensi meningkatkan laju perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.

*Penelitian ini dijelaskan dalam makalah yang diterbitkan 29 Agustus di jurnal Geophysical Research Letters.***

Editor: Puji Fauziah

Sumber: Live Science


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x