Stafsus Kemnaker Paparkan Kepentingan Buruh yang Ada di UU Cipta Kerja

14 Oktober 2020, 16:41 WIB
Mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat dan Mahasiswa (GERAM) Riau melakukan unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja. /Rony Muharrman/ANTARA

PR BEKASI – Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) tetap mengakomodasi kepentingan buruh, dan mengadopsi berbagai hal yang baik dalam UU Nomor 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan.

Hal tersebut disampaikan oleh Staf Khusus Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Dita Indah Sari pada Rabu, 14 Oktober 2020.

“Hal-hal baik yang ada di UU Ketenagakerjaan tentu kita adopsi, dan kitaa juga perlu mengakomodasi perkembangan zaman. Supaya aturan ketenagakerjaan tetap relevan,” tuturnya, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara.

Baca Juga: Ratusan Pendemo Diamankan karena Diduga Anarkis, Polri: Dua Diantaranya Siswa SD

Dita Indah Sari menjelaskan bahwa regulasi tersebut, berupaya untuk menjamin para buruh masih menerima hak-haknya ketika melaksanakan kewajibannya. Seperti pesangon Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), status kontrak, cuti, alih daya, hingga pengupahan.

Selain itu, Omnibus Law tersebut juga mampu menjawab berbagai isu terkait klaster ketenagakerjaan sesuai dengan perkembangan terkini, mengingat UU sebelumnya telah berumur hampir 17 tahun.

Salah satunya yakni terkait pesangon bagi karyawan PHK, yang saat ini masih merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Meski mengalami revisi ke bawah, dari sebelumnya 32 kali gaji, menjadi 25 kali gaji.

Baca Juga: Atasi Belasan Ton Sampah Sisa Demo Tolak UU Ciptaker di Jakarta, DLH Turunkan 500 Personil

“Indonesia ini angka pesangonnya salah satu yang paling tinggi di dunia, dan ini tidak berimbang dengan tingkat produktivitas kita. Angka 32 kali gaji ini, realisasinya juga tidak ada yang mau menanggung, dan tidak banyak yang mampu menjalankan,” tutur Dita Indah Sari.

Dia menambahkan bahwa UU Ciptaker juga memberikan inovasi yang lebih relevan bagi buruh yang terkena PHK, yakni memberikan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dengan angka yang tidak memberatkan pengusaha.

“Manfaat JKP ini hanya ada di UU Cipta Kerja, angkanya tidak lagi memberatkan pekerja ataupun pengusaha dengan iuran tambahan. Pemerintah akan lakukan rekomposisi iuran yang ada, dari BPJS Ketenagakerjaan,” ujar Dita Indah Sari.

Baca Juga: Viral Video Ambulans Ditembaki Gas Air Mata Oleh Polisi, Yusri Yunus Beberkan Kronologi Kejadiannya

Terkait isu mengenai kontrak, dia menjelaskan bahwa syarat-syarat mengenai pekerja kontrak masih mengadopsi aturan di UU Ketenagakerjaan. Terutama di Pasal 56 dan 59, yang juga disesuaikan dengan perkembangan terkini.

“Kenapa batas maksimal kontrak tidak tercantum lagi? Karena ini akan dicantumkan di Peratuan Pemerintah nanti, supaya ada fleksibilitas. Karakteristik hubungan kerja di tiap sektor kan bisa berbeda-beda,” tutur Dita Indah Sari.

Dia juga menyampaikan klarifikasi terkait misinformasi mengenai cuti, terutama bagi para buruh perempuan. Karena, UU Cipta Kerja tetap mengatur pemberian cuti hamil dan cuti haid.

Baca Juga: UU Ciptaker Atur Sertifikat Halal, MUI: Sangat Berbahaya, Ada Potensi Langgar Syariat Islam

“Tidak ada penghilangan cuti hamil dan haid. Menteri (Ketenagakerjaan) kita ini perempuan, separuh pekerja kita ini perempuan. Semua tetap ada, dan dibayarkan upahnya,” ujar Dita Indah Sari.

Untuk syarat PHK, dia memastikan terdapat empat tahap yang harus dilalui, apabila keputusan tersebut benar-benar dilakukan. Sehingga, pengusaha maupun buruh bisa mendapatkan solusi yang terbaik.

“Pengusaha harus tetap memberikan informasi, tidak bisa sepihak. Kalau pekerja tidak setuju, harus ada perundingan yang bisa didampingi serikat pekerja. Jika tidak sepakat, pemerintah harus mediasi. Kalau tidak selesai juga, baru masuk jalur hukum,” tutur Dita Indah Sari.

Baca Juga: 8 Aktivisnya Ditangkap Mabes Polri, : KAMI: Represif dan Tidak Mencerminkan Fungsi Polri

Dia juga mengatakan bahwa setiap daerah juga masih bisa menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sesuai dengan perhitungan inflasi maupun pertumbuhan ekonomi, meski tidak diwajibkan.

“Kalau UMP-nya dianggap sudah mewakili, tidak perlu. Tiap daerah punya karakteristik yang berbeda-beda, kalau mayoritas pekerjanya di UMKM, harus disesuaikan. Makanya pilihan katanya ‘dapat’, bukan ‘wajib’,” ucap Dita Indah Sari.

Secara keseluruhan, pemerintah akan mengakomodasi beberapa hal yang belum detail dalam UU Cipta Kerja, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) dengan melibatkan serikat pekerja.

Baca Juga: Komentari Penangkapan Petinggi KAMI, Mardani Ali Sera: Ini Ujian Bagi Demokrasi

“Setidaknya, tiga sampai empat PP yang akan kita bahas. Tentang pengaturan ketenagakerjaan yang isinya soal kontrak, outsource, dan lainnya, PP tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan, dan PP tentang pengupahan,” tutur Dita Indah Sari.***

Editor: Puji Fauziah

Sumber: Antara

Tags

Terkini

Terpopuler