Tak Sepenuhnya Buruk, Pengamat Politik Nilai UU Cipta Kerja Sebagai Revolusi Legislasi di Indonesia

19 Oktober 2020, 13:13 WIB
Ilustrasi - Penataan regulasi melalui RUU Cipta Kerja untuk peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja. /ANTARA/Ardika

PR BEKASI - Pengesahan UU Cipta Kerja hingga kini masih menjadi topik yang hangat diperbincangkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Meski mendapat penolakan dari sejumlah elemen masyarakat, yakni dari kaum buruh atau pekerja hingga mahasiswa, tapi rupanya tak sedikit pula yang mendukung adanya UU Cipta Kerja.

Sejumlah pihak menilai bahwa UU Cipta Kerja akan membawa dampak positif bagi Indonesia, salah satunya di sektor ekonomi.

Baca Juga: Dijodohkan dengan Lutfi Agizal karena Sama-sama Halu, Barbie Kumalasari: Semoga Doa Netizen Terkabul

Salah satu yang berpandangan positif tentang UU Cipta Kerja adalah pengamat politik Universitas Indonesia Dr Kusnanto Anggoro.

Dalam acara diskusi daring bertajuk "Reformasi Birokrasi Seri 5 Omnibus Law-Perspektif Reformasi Birokrasi dan Mimpi Transformasi Struktural", Kusnanto Anggoro menilai, keberadaan UU Cipta Kerja merupakan revolusi dalam proses legislasi yang ada di Indonesia.

"Kalau dari orientasi tujuannya harus diakui bahwa Omnibus Law UU Cipta Kerja adalah 'revolution on legislation process'," kata Kusnanto Anggoro, sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara, Senin, 19 Oktober 2020.

Dia menjelaskan, selama ini tidak ada undang-undang yang menggabungkan beberapa ketentuan menjadi satu, setidaknya sampai sebelum ada UU Cipta Kerja.

Baca Juga: Samakan NU Seperti Bus Ugal-ugalan, Gus Nur: Setelah Rezim Ini Lahir, Tiba-tiba 180 Derajat Berubah

"Dulu-dulu enggak ada, undang-undang yang menggabungkan beberapa ketentuan. Menghilangkan, menggabungkan ini dengan itu, dan seterusnya," kata Kusnanto.

Padahal menurutnya, hampir semua undang-undang yang keluar mulai 2000 hingga sekarang banyak yang bertabrakan satu sama lain dan sebenarnya harus dimengerti karena masing-masing sektor yang membuatnya sendiri.

"Misalnya, UU Jalan Raya diajukan Departemen Perhubungan, melalui Ditjen Perhubungan Darat. UU Irigasi oleh Kementerian PUPR, atau UU Lingkungan Hidup oleh Kementerian LHK," kata Kusnanto.

Dia mengatakan, proses pembuatan undang-undang tersebut memang melibatkan lintas sektor dengan mengundang pihak terkait, tetapi dalam realitasnya kerap tidak efektif.

Baca Juga: Ditolak Kunjungi Tahanan KAMI, Pengamat: Tak Diberi Ruang, Pemerintah Takut dengan Gatot Nurmantyo

Contohnya, penyusunan naskah akademik suatu undang-undang pasti mengundang banyak pihak, termasuk lintas departemen, tetapi prosesnya tidak mudah karena belum tentu mereka datang saat diundang atau jika datang bisa saja diwakilkan.

"Jadi, tidak mudah menemukan hati di antara pihak-pihak itu (pembuat UU). Akhirnya, undang-undang yang ada sifatnya menjadi sangat sektoral," kata Kusnanto.

Sementara itu, mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Sarwono Kusumaatmaja mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo memiliki alasan kuat agar UU Cipta Kerja segera disahkan, salah satunya demi masa depan yang lebih baik.

"Jadi, Presiden Jokowi berpikir agar undang-undang ini tidak ditunda meski krisis. Sebab kalau ditunda, setelah krisis lewat maka kita akan menghadapi masalah yang lebih besar," kata Sarwono Kusumaatmaja.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler