Menurut ketiga peneliti di atas, toxic masculinity diyakini sebagai penyebab sulitnya kita percaya pada fakta bahwa lelaki bisa jadi korban kekerasan seksual.
“Budaya maskulinitas beracun (toxic masculinity) yang dilahirkan oleh masyarakat patriarki diyakini menjadi tabunya kenyataan bahwa laki-laki dapat menjadi korban kekerasan seksual.
“Budaya patriarki membangun konstruksi bahwa laki-laki merupakan sosok yang kuat, dominan, serta memiliki posisi tawar (bargaining position) dan kuasa (power) yang lebih atas perempuan, sehingga mustahil mengalami kekerasan seksual,” tuturnya.
Para peneliti itu menganggap sudah saatnya kita mengagendakan upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual pada semua gender, tak hanya perempuan.
Baca Juga: Tes IQ: Hanya Orang Jenius yang Bisa Lihat Anjing dalam Gambar Berikut! Apakah Kamu Termasuk?
Pasalnya saat perempuan dan anak-anak sudah memiliki saluran untuk melapor, hal sama tidak terjadi pada lelaki.
Rendahnya tingkat aduan lelaki terkait kasus tersebut bukan berarti tidak ada kasus sama sekali, sudah saatnya pembahasan ini diangkat ke permukaan.
“Glorifikasi sifat maskulin menjadi bumerang bagi laki-laki. Konstruksi sebagai mahluk superior membuat laki-laki korban kekerasan meragukan, bahkan menyangkal, pengalaman mereka sendiri.
“Sering kali mereka justru memperoleh stigma yang menantang maskulinitas mereka – dianggap payah, kurang macho, dan bukan laki-laki seutuhnya,” katanya.