PR BEKASI - Kelompok Biksu Buddha paling kuat di Myanmar meminta junta militer untuk mengakhiri kekerasan terhadap demonstran Myanmar anti-kudeta.
Kelompok Buddha dari Komite Negara Sangha Maha Nayak (Mahana) juga menuduh oknum keamanan bersenjata telah melakukan penyiksaan dan pembunuhan kepada warga sipil tak berdosa hingga beberapa tewas mengenaskan sejak kudeta bulan lalu.
Salah satu biksu dari Mahana mengatakan pada Myanmar Now, berencana mengeluarkan pernyataan akhir setelah berkonsultasi dengan Menteri Agama Myanmar pada Kamis, 18 Maret 2021.
Para biksu diketahui memiliki peranan penting terkait aktivisme di Myanmar dan berada di garis depan saat "Revolusi Saffron" pada tahun 2007 melawan kekuasaan militer.
Peristiwa pemberontakan yang meskipun ditekan tetapi membantu mengantarkan reformasi demokrasi di negara tersebut.
Anggota komite tidak dapat segera dihubungi lebih lanjut oleh Reuter, tetapi hal ini memberi isyarat untuk memutuskan hubungan antara pihak berwenang dan kelompok yang biasanya bekerja erat dengan pemerintah.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021, serta menahan dia dan anggota partainya, yang menuai kecaman internasional yang luas.
Anggota parlemen yang tersingkir, sebagian besar dari partai Suu Kyi, mendorong pendirian kelompok persatuan untuk bersatu melawan kudeta di negara yang beragam etnis itu.
Mereka mengatakan cap teroris akan dicabut dari semua pengunjuk rasa yang mencari otonomi yang berjuang untuk demokrasi.
Lebih dari 180 pengunjuk rasa telah tewas ketika pasukan keamanan mencoba untuk menghancurkan gelombang demonstrasi, kata kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.
Pasukan keamanan membunuh seorang pria dalam demonstrasi di Yangon semalam, kata saudara laki-laki korban.
Di pagi hari, pengunjuk rasa di satu lingkungan meninggalkan barisan kelapa di jalan, mewakili masyarakat, dengan papan bertuliskan: “Kembalikan masa depan kita!”
Sementara pasukan keamanan berfokus pada pemberantasan unjuk rasa di kota utama Yangon, demonstrasi kecil meletus di tempat lain.
Baca Juga: Jadi Kasus Pertama, Petugas Medis di China Terkonfirmasi Positif Covid-19 Usai Ikut Vaksinasi
Ratusan orang berkumpul dengan papan-papan protes di Kota Demoso, Pathein di delta sungai Irrawaddy, dan Dawei di pada hari Rabu, 17 Maret 2021.
Penduduk kota kedua Mandalay dan pusat kota Monywa juga melaporkan protes.
Penghentian total internet seluler menyulitkan pengunjuk rasa untuk berkomunikasi dan memverifikasi informasi. Sangat sedikit orang di Myanmar yang memiliki akses Wi-Fi.
Menurut seorang Aktivis Wanita, Chit Chit Win mengatakan bahwa ia dan pengunjuk rasa lain harus mencari cara lain untuk berkomunikasi.
“Kami harus menggunakan cara-cara lama untuk berkomunikasi,” ucap Chit Chit Win seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Reuters pada Jumat, 19 Maret 2021.
“Kami menggunakan sistem protes gerilya. Kami memberi tahu orang-orang untuk bubar jika pasukan keamanan datang. Kami menghindari konfrontasi, tetapi melakukan apa yang kami bisa," sambungnya.
Seorang juru bicara junta tidak menjawab panggilan telepon untuk diminta komentar terkait masalah yang terjadi.***