Asosiasi PIHU Keluhkan Pidana Kurungan 10 Tahun Penjara atau Denda Rp5 Miliar dalam UU Ciptaker

31 Oktober 2020, 10:43 WIB
Ilustrasi ibadah haji dan umrah. /Pixabay/@Konevi

PR BEKASI – Sejumlah asosiasi penyelenggara ibadah haji dan umrah (PIHU) dikabarkan mengeluhkan pidana kurungan hingga 10 tahun atau denda paling banyak Rp5 miliar dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

Aturan tersebut terdapat di Bab III Bagian Empat, Paragraf 14 mengenai Keagamaan pasal 125 dan 126 UU Cipta Kerja.

Alasan keluhan tersebut adalah karena Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dapat juga dikenakan sanksi administratif sekaligus oleh aparat penegak hukum.

Baca Juga: DPD Komentari Pembangunan TNK: Komodo Hidupnya di Alam Terbuka, Tak Butuh Bangunan Mewah atau AC

Pengenaan sanksi tersebut sesuai bunyi pasal 118A dan pasal 119A, sehingga sanksi yang diterima nanti pun akan berlapis-lapis.

Hal itu disampaikan oleh anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bukhori Yusuf dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat, 30 Oktober 2020.

“Berat sekali konsekuensinya (bagi PIHK dan PPIU) bila kedua sanksi dikenakan sekaligus, yakni denda administratif bahkan ditambah hukuman penjara maksimal 10 tahun,” tuturnya, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara.

Baca Juga: Korban Gempa Turki Terus Bertambah, Kebanyakan Tertimpa Reruntuhan Bangunan

Pasal 118A dan 119A mencakup sanksi administratif dari yang ringan, yakni berupa denda administratif, sampai yang paling berat yakni pencabutan izin usaha.

Selain itu, PIHU juga berkewajiban mengembalikan biaya yang sudah disetor oleh jemaah kepada PPIU dan/atau PIHK, serta kerugian bukan materiil lainnya.

Bukhori Yusuf menjelaskan bahwa pasal-pasal 118A dan 119A, sesungguhnya memiliki maksud yang baik.

Baca Juga: Demonstrasi Reformasi Kerajaan Masih Berlanjut, Pakar: Raja dan PM Thailand Abai terhadap Warganya

Yakni, memberikan proteksi kepada jemaah, dari praktik penyimpangan pihak penyelenggara ibadah haji/umrah yang merugikan jemaah. Sebagaimana pernah terjadi sebelumnya pada kasus penipuan biro haji dan umrah First Travel.

“Pembentukan pasal tersebut dimaksudkan untuk memberlakukan sanksi pidana untuk menjerat PPIU/PIHK nakal,” ucap Bukhori Yusuf.

“Akan tetapi disayangkan rumusan pasalnya menjadi ambigu, karena pasal rujukannya adalah 118A dan 119A yang berisi tindakan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, kepulangan, dan keterlantaran,” ujarnya menambahkan.

Baca Juga: Komentari Tulisan Mahathir Mohamad Soal Prancis, Scott Morrison: Tidak Masuk Akal dan Menjijikkan

Namun, yang bermasalah adalah yang tercantum dalam pasal selanjutnya, yakni pasal 125 dan pasal 126.

“Disebutkan bahwa PIHK maupun PPIU yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 118A dan 119A, juga bisa dikenakan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp10 miliar,” tutur Bukhori Yusuf.

Dia mengatakan, konsekuensi dari tumpang tindih pasal terkait sanksi tersebut, akan membuka celah bagi terjadinya multitafsir atau pasal karet.

Baca Juga: Aktivitas Gunung Merapi Alami Peningkatan yang Mengkhawatirkan, Radius 3 Kilometer Harap Dikosongkan

Karena, penegak hukum dapat mengenakan sanksi pidana saja, atau sanksi administratif dan sanksi pidana sekaligus.

Dari segi etika hukum, Bukhori Yusuf menganggap pemberlakukan sanksi berlapis itu pun tidak pada tempatnya, alias tidak adil karena melampaui batas kewajaran.

Hal itu karena kedua sanksi tersebut, menjerat perusahaan atau lembaga sekaligus pemiliknya, di waktu yang sangat bersamaan. Padahal, pelanggaran pada pasal tersebut, tidak termasuk yang pasti menimbulkan kematian.

Baca Juga: Sempat Dikabarkan Hilang Usai Bermain, Jenazah Bocah Ini Ditemukan di Saluran Air Sawah Besar

Bukhori Yusuf pun menduga, munculnya ambiguitas terkait pengenaan sanksi berlapis untuk satu perbuatan dalam UU tersebut, karena ketergesa-gesaan selama proses penyusunan UU Cipta Kerja.

Dia mengklaim bahwa pembahasannya saat itu dilakukan oleh pemerintah dan DPR RI secara terpisah dari PKS, khususnya terkait sanksi pidana pada pasal 125 dan 126 UU Nomor 8 tahun 2019, dengan menambahkan batas waktu lima hari.

“Pada mulanya, Fraksi PKS mencermati pasal 68 merupakan concern utama kami, yakni terkait syarat PPIU yang harus kami pastikan adalah WNI (warga negara Indonesia) dan muslim sebagaimana dalam UU No.8/2019,” ujar Bukhori Yusuf.

Baca Juga: Pompeo Sampaikan Pidato di Depan GP Ansor, Rocky Gerung: Mereka Dipakai Amerika Untuk Tegur Istana

“Sebab sebelumnya, dalam draf RUU versi 1029 halaman, pemerintah secara gegabah menghapuskan syarat muslim dan WNI tersebut, dan menggantinya dengan klausal pernyataan yang ditetapkan Pemerintah Pusat,” tuturnya menambahkan. 

Alhasil, Fraksi PKS bersikeras untuk mempertahankan syarat semula, hingga akhirnya berhasil terakomodir. Kendati harus melalui proses pembahasan yang alot di Baleg.

“Sebagai konsekuensi, di UU Cipta Kerja yang terbaru kemudian muncul pasal tambahan, yakni pasal 118A dan 119A sebagai pasal sisipan,” ucap Bukhori Yusuf.

Baca Juga: Jajan Murah dan Hemat Hanya Rp1 ala ShopeePay, Simak Caranya di Sini

“Kedua pasal yang mengatur pengenaan sanksi administratif ini, ternyata memiliki kaitan dengan pasal 125 dan 126 terkait sanksi pidana, sehingga memunculkan potensi sanksi berlapis,” ujarnya menambahkan.

Lebih jauh, Bukhori Yusuf menilai bahwa konstruksi berpikir untuk melakukan perlindungan bagi jemaah, melalui regulasi baru tersebut sesungguhnya sudah baik.

Namun, dengan munculnya potensi pasal kontroversial tersebut, justru akan menimbulkan permasalahan baru.

Baca Juga: Tetap Waspada, Siang hingga Malam Hari Kota dan Kabupaten Bekasi Akan Diguyur Hujan Disertai Petir

“Kami juga mengamini bahwa bagi pihak penyelenggara umrah dan haji yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan, sebenarnya sudah masuk dalam ketentuan pidana,” tutur Bukhori Yusuf.

Dia pun menyarankan agar pasal pidana UU Cipta Kerja tersebut sebaiknya dicabut saja, agar tidak membuka ruang spekulasi bagi para penegak hukum.

Dengan melihat fakta, bahwa ancaman hukuman dalam UU Cipta Kerja ini sifatnya berlapis. Sehingga memberikan kepastian hukum bagi PIHK dan PPIU sesuai dengan asas keadilan.***

Editor: Puji Fauziah

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler