Kaitkan Pembubaran FPI dengan Duel Ahok vs Anies, Refly Harun: Di 2024 Mungkin Akan Tetap Menunjang

- 6 Januari 2021, 11:01 WIB
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menilai pembubaran FPI tak ada kaitannya dengan kekalahan Ahok.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menilai pembubaran FPI tak ada kaitannya dengan kekalahan Ahok. /YouTube Refly Harun

PR BEKASI - Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun menyatakan bahwa kalau berbicara mengenai organisasi masyarakat, maka organisasi masyarakat itu terbagi dua yaitu yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum.

Refly Harun menjelaskan organisasi yang berbadan hukum mendaftarkan organisasinya ke Kementerian Hukum dan HAM untuk mendapatkan status badan hukum, apakah organisasi itu termasuk ke perkumpulan atau yayasan.

Kalau tidak berbadan hukum, Refly Harun melanjutkan, maka ada dua juga, ada yang terdaftar dengan surat keterangan dari Kementerian Dalam Negeri dan ada yang tidak mendaftar karena mungkin mereka menganggap tidak perlu.

Baca Juga: Jokowi Teken PP 76 Tahun 2020, Mahasiswa, Pelajar, dan Masyarakat Kini Bisa Bikin SIM Gratis

Sebab itu, dikatakan bahwa perkumpulan atau organisasi masyarakat tidak tergantung pada kondisi apakah organisasi tersebut terdaftar atau tidak.

"Jadi memang tidak tepat ketika dikatakan secara de jure bahwa yang namanya HTI itu bubar per 21 Juni 2019, karena dia tidak diperpanjang SKB-nya," kata Refly.

Dia mengungkapkan kalau SKB itu tidak diperpanjang maka organisasi tersebut akan menjadi perkumpulan atau ormas yang tidak memiliki badan hukum dan tidak terdaftar.

Refly Harun mengatakan kalau ormas seperti itu sah kecuali pihak mereka yang membubarkan organisasi mereka atau diri mereka sendiri, sebagaimana masuk ke dalam hukum perjanjian.

Baca Juga: Jokowi Sebut 2021 Penuh Harapan, Rocky Gerung: Ini Ajaibnya Presiden, Guru Besar Pasti Tertawa

"Jadi kalau dia punya hukum perjanjian maka dia bisa membubarkan ormas dirinya sendiri. Selain dirinya sendiri, yang bisa membubarkan dan melarangnya adalah putusan pengadilan," ucapnya.

Pada Kanal YouTube miliknya, Refly Harun mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah berkali-kali adalah mengontrol dari sisi administrasi.

Hukum administrasi itu hanya bisa mencabut status sebagai badan hukum dan seharusnya pelarangan aktivitas sebuah perkumpulan hanya dapat melalui putusan pengadilan.

"Kenapa butuh putusan pengadilan untuk melarang sebuah organisasi? Karena Indonesia negara hukum ada Due Process of Law," ucapnya.

Baca Juga: Ingatkan Risma Soal Masalah Kemiskinan, Mardani Ali Sera: Mensos Perlu 'Blusukan' di Perapian Data

Refly Harun melanjutkan yang menarik adalah sejak tahun 2016 ke atas, Front Pembela Islam (FPI) tidak sama seperti FPI ketika awal berdiri.

"FPI lahir pada 1988, tetapi ketika 2016 ada Pilkada 2016, kita tahu bahwa FPI bersama dengan HTI, dan organisasi-organisasi lainnya adalah backbone besar-besaran yaitu 411 dan 211, untuk memperkarakan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok," katanya.

Jadi sejak saat itu, FPI muncul sebagai organisasi yang patut diperhitungkan.

Organisasi yang ternyata bisa menjadi mesin pendorong bagi sebuah kelompok politik.

Baca Juga: Pramugari Filipina Ditemukan Tewas Membiru di Bak Kamar Mandi, Diduga Sempat Diperkosa Ramai-ramai

"Pada waktu itu Anies Baswedan hanya berada di peringkat ketiga, tapi karena adanya penggelindingan isu mengenai 411 dan 212, dan dukungan kelompok-kelompok kanan dalam politik yang saya katakan itu sah-sah saja," ucap Refly Harun.

Karena hal itu juga terjadi di mana pun, yang terpenting adalah tidak boleh melakukan black campaign.

Refly Harun menuturkan karena adanya hal itu juga posisi Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, naik menjadi peringkat kedua dalam putaran pertama.

"Ketika head to head dengan Ahok, saat itu Ahok dengan statusnya sebagai terdakwa dan akhirnya Anies yang memenangkan pertarungan," ujarnya.

Baca Juga: Tak Ingin Rakyat Dirugikan Lagi, KPK Perketat Pengawasan Penyaluran Bansos Covid-19 dari Kemensos

Sejak saat itu kiprah FPI, HTI, GNPF Ulama, dan PA 212, menjadi kelompok-kelompok kanan yang pada Pilpres 2019, kelompok ini mendukung paslon nomor 2.

Diungkapkan Refly Harun, hal itu menimbulkan kekhawatiran kelompok ini akan terus membesar di ranah politik Indonesia, terutama untuk 2024.

"Di 2024 mendatang, isu-isu yang bersifat sektarian seperti ini mungkin tetap akan menunjang. Hanya masalahnya penguasa saat ini tidak konsisten untuk mempraktekkan demokrasi," kata Refly Harun, sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari kanal YouTube Refly Harun, Rabu, 6 Januari 2021.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: YouTube Refly Harun


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah