Para Tokoh 'Tua' Ramai Salahkan Buzzer, Henry Subiakto: Mereka 'Buzzer Bangsa', Bukan Orang Bayaran

- 13 Februari 2021, 12:48 WIB
Staf Ahli Menkominfo, Henry Subiakto angkat bicara soal keberadaan buzzer.
Staf Ahli Menkominfo, Henry Subiakto angkat bicara soal keberadaan buzzer. /Dok. Kominfo

PR BEKASI - Staf Ahli Menkominfo Henry Subiakto turut angkat bicara terkait keberadaan buzzer yang akhir-akhir ini menjadi polemik di tengah publik.

Henry Subiakto tak setuju jika buzzer dikaitkan dengan pendukung tokoh, partai, apalagi pemerintah.

Henry Subiakto mengatakan, yang aktif di media sosial itu bukan hanya buzzer, tapi ada juga masyarakat yang terpanggil jiwanya untuk melawan oportunis politik.

Baca Juga: Didiagnosa Mengidap Kanker Prostat, Kak Seto Jalani Operasi Besok Pagi: Mohon Doa Sahabat-sahabat Semua

"Yang aktif di medsos itu tidak identik dengan buzzer pendukung tokoh apalagi partai tertentu. Tak sedikit yang terpanggil jiwa dan semangatnya berkomunikasi melawan oportunis politik yang menggunakan politisasi agama dan radikalisme," kata Hendry Subiakto, yang dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari cuitan @henrysubiakto, Sabtu, 13 Februari 2021.

Menurutnya, masyarakat yang terpanggil jiwanya itu adalah buzzer bangsa, bukan orang-orang bayaran.

"Mereka 'Buzzer Bangsa', bukan orang-orang bayaran," ujar Henry Subiakto.

Baca Juga: Jokowi Minta Masyarakat Kritik Pemerintah, Jusuf Kalla: Bagaimana Caranya Tanpa Dipanggil Polisi?

Henry Subiakto lantas menceritakan bahwa dulu
kritik itu hanya lewat media massa, reaksi yang dihadapi pun hanya dari orang yang dikritik, dan rakyat hanya jadi penonton saja.

"Sekarang rakyat punya media sendiri di internet. Pola komunikasi berubah. Pengkritik dapat reaksi langsung dari rakyat yang aktif dan beragam. Ternyata pengkritik banyak yang tidak tahan juga dikritik mereka," kata Henry Subiakto.

Lebih lanjut, Henry Subiakto menjelaskan bahwa pada era media massa dulu, orang sedikit komunikasi dengan orang banyak. Tentu yang sedikit merasa nyaman, karena kuasai lingkup publik.

Baca Juga: Prabowo Subianto Minta Kader Gerindra Tak Buat Gaduh, Effendi Gazali: Bang Fadli Zon Tenang Saja

"Era medsos sekarang, orang banyak komunikasi dengan orang banyak. Semua punya kesempatan. Tidak ada yang distimewakan. Tiap orang adalah pelaku sekaligus sasaran komunikasi," kata Henry Subiakto.

Oleh karena itu, menurutnya, tak heran jika kini para tokoh 'tua' tak tahan dikritik balik oleh masyarakat yang aktif di media sosial.

"Para tokoh 'tua' yang dulu menikmati kenyamanan komunikasi elitis di media massa, tidak tahan 'dikeroyok' rakyat yang sekarang aktif di berbagai platform," kata Henry Subiakto.

Baca Juga: Din Syamsuddin Dituduh Radikal, Dahnil Anzar: Yang Menuduh Berhalusinasi dan Penuh Kebencian pada Beliau

"Lalu menganggap dulu lebih baik dari sekarang. Itu pikiran yang mengabaikan perubahan pola komunikasi. Atau tidak nyaman dengan keniscayaan pola baru," sambungnya.

Menurutnya, di era komunikasi digital dengan platform global seperti sekarang ini, tidak ada kekuatan yang mampu mengendalikan komunikasi rakyat yang aktif di akun media sosial miliknya.

"Kecuali negara otoriter yang 'menguasai' platform milik kapitalis global, seperti di China," ujar Henry Subiakto.

Baca Juga: Din Syamsuddin Dituduh Radikal, Musni Umar: Sangat Aneh, Beliau Selalu Berkata dan Bersikap Toleran

Henry Subiakto mengatakan, pemerintah di negara demokrasi hanya menjadi pelaku komunikasi di tengah jutaan pelaku komunikasi lain.

"Yang punya akses mengatur komunikasi di medsos justru perusahaan platform. Mereka mengolah data dan menerapkan 'standar komunitas'. Siapa pun yang melanggar bisa otomatis tersuspend," tutur Henry Subiakto.

Seperti contohnya, Presiden AS Donald Trump yang akunnya ditutup atas nama pelanggaran standar komunitas.

Baca Juga: Novel Baswedan Dipolisikan, Rocky Gerung: Kalau Diproses, Berarti Polisi Abaikan Permintaan Presiden

"Artinya di era demokrasi digital otoritas pengendali komunikasi adalah para pemilik platform global, bukan pemerintah. Ironi jika ada yang mindsetnya masih seperti 20 tahun lalu saat negara powerful ngatur komunikasi," kata Henry Subiakto.

"Atau dengan mudah menuding yang aktif itu para buzzer. Buzzer memang ada. Tapi pelaku aktif medsos tak hanya buzzer. Rakyat juga banyak yang eksis dan aktif, dengan semangat dan berbagai motif," sambungnya.

Henry Subiakto menekankan, yang penting saat ini adalah masyarakat tidak melanggar hukum. Karena kalau melakukan kejahatan yang dilarang UU bisa dihukum.

Baca Juga: Tak Terima Persabatan dengan Rohimah Disebut Settingan, Eva Belisima: Pakai Logika dong, Masa Cerai Beneran?

"Kritik bukan perbuatan melanggar UU dan tidak masalah. Selama kritik dimaknai sebagai tanggapan, koreksi, penilaian, penolakan, ketidak setujuan, dan argumentasi. Tapi kalau nyebar hoaks, fitnah, provokasi kebencian dianggap juga sebagai aktivitas kritik. Itu sama saja dengan mengabaikan hukum," tutur Henry Subiakto.***



Editor: Rika Fitrisa


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah