"Kalau kita persangka dalam persepsi sosiologi, oke dia kebetulan hadir, itu sosiologi. Tapi persepsi hukum beda, dia hadir di situ, di Makassar tidak dilaporkan, di UIN Jakarta tidak dilaporkan, di Medan tidak dilaporkan," sambungnya.
Kapitra Ampera menilai, tindakan Munarman yang tidak melaporkan baiat ISIS ke Polisi sama saja dengan menyetujui adanya tindakan terorisme.
Baca Juga: Gagal Bawa Pulang Kedua Anaknya, Tangis Tsania Marwa Pecah: Mereka Takut Diculik dan Diambil Paksa
"Berarti dia menyetujui adanya perbuatan terorisme. Menurut UU Nomor 5 Tahun 2008 ini kejahatan yang dapat dihukum, menyembunyikan informasi, ada hukum minimal 3 tahun, maksimal 15 tahun," kata Kapitra Ampera.
"Di situlah penyidik berpijak dalam melakukan penyidikan dan penangkapan. Jadi jangan bikin framing seolah-olah ini penzaliman dan pelanggaran HAM," sambungnya.
Terakhir, Kapitra Ampera menilai bahwa Tim Densus 88 selalu bekerja dengan sangat teliti, sehingga tidak gampang menangkap dan menetapkan seseorang sebagai tersangka terorisme.
Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Arief Subhan mengatakan bahwa peristiwa yang disebut-sebut baiat ISIS itu terjadi di lingkungan komersial kampus pada 2014 silam.
"Peristiwa tersebut terjadi di lingkungan komersial UIN Jakarta. Jadi ada semacam hotel dan ada ruang pertemuan yang disewakan secara publik, dan pada saat itu ada organisasi atau kelompok yang menyewa tempat itu, dan digunakan untuk kegiatan yang di luar sepengetahuan pihak UIN Jakarta," tutur Arief Subhan.
Arief Subhan pun mengatakan bahwa pihaknya tidak tahu bahwa acara itu adalah baiat ISIS, karena yang menyewa saat itu adalah Forum Aktivis Syariat Islam, dan pihaknya pun tidak bisa memastikan apakah benar Munarman hadir dalam acara tersebut.