PR BEKASI – Jaksa Agung Burhanuddin mendukung penuh wacana pemberian hukuman mati terhadap narapidana koruptor.
Hal tersebut dikatakannya dalam webinar yang digelar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto yang dilakukan secara daring, Kamis, 18 November 2021.
Jaksa Agung mengatakan bahwa hukuman mati terhadap narapidana koruptor diperlukan karena saat ini jumlah pelanggaran kasus korupsi di Indonesia semakin bertambah.
Pelaksanaan hukuman mati tersebut dinilai sangat diperlukan untuk memberikan efek jera terhadap orang-orang baik yang sudah melakukan korupsi maupun yang belum melakukannya.
"Perkara korupsi di Indonesia belum ada tanda-tanda hilang dan justru semakin meningkat kuantitasnya,” kata Burhanuddin, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara, Jumat, 19 November 2021.
“Sudah sepatutnya kita melakukan berbagai macam terobosan hukum sebagai bentuk ikhtiar pemberantasan korupsi," tambahnya.
Diketahui, selama ini para penegak hukum telah menjatuhkan berbagai tindak pidana berat sebagai efek jera melakukan korupsi.
Akan tetapi, efek jera hukuman tersebut hanya dirasakan oleh para terpidana saja, sedangkan masyarakat lain yang berpeluang melakukan penyelewengan tidak mendapatkannya sehingga korupsi tetap tumbuh.
Meskipun telah mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat, pemerintah masih belum bisa menerapkan hukuman mati terhadap koruptor.
Baca Juga: Arief Muhammad Setuju Panggilan Koruptor Diganti dengan Istilah Maling atau Rampok: Lebih Pantas!
Pasalnya, wacana hukuman mati tersebut sampai saat ini masih mendapat penolakan dari para aktivitas Hak Asasi Manusia (HAM).
Diketahui, aktivis HAM di seluruh dunia telah mendorong semua negara untuk menghapus pelaksanaan hukuman mati.
Pasalnya, mereka beranggapan bahwa hak hidup merupakan hak mutlak yang tidak dapat dicabut oleh siapapun kecuali oleh Tuhan.
Baca Juga: Hilmi Firdausi Dukung Istilah Koruptor Diganti Jadi Maling: Jangan Memperhalus Sesuatu yang Kotor!
"Penolakan ini tidak dapat kita terima begitu saja. Sepanjang konstitusi memberikan ruang yuridis dan kejahatan tersebut secara nyata sangat merugikan, maka tidak ada alasan untuk tidak menerapkan hukuman mati," kata Jaksa Agung.
Menurut Burhanuddin, dalam pasal dalam UUD 1945 yang mengatur tentang perlindungan HAM, terdapat suatu pembatasan HAM yang tertuang di pasal penutupnya.
Dalam Pasal 28 J ayat (1), setiap orang untuk menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kemudian, pada Pasal 28J ayat (2), ditegaskan bahwa HAM dapat dibatasi dan bersifat tidak mutlak.
"HAM setiap orang dapat dicabut oleh negara apabila orang tersebut melanggar undang-undang," kata Jaksa Agung.
Bila mengacu pada pasal tersebut, maka hukuman mati untuk koruptor yang selama ini terhalangi oleh persoalan HAM dapat ditegakkan.
Namun, masih ada persoalan lain yang mengganjal wacana pemberian hukuman mati tersebut.
Banyak pihak yang masih berpandangan bahwa hukuman mati tidak menurunkan kuantitas kejahatan sehingga lebih baik dihapuskan saja.
Baca Juga: Setuju Koruptor Mulai Dipanggil Maling, Arief Muhammad: Rasanya Memang Lebih Pantas
"Mengingat perkara korupsi belum ada tanda-tanda hilang dan justru semakin meningkat kuantitasnya, maka sudah sepatutnya kita melakukan berbagai macam terobosan hukum sebagai bentuk ikhtiar pemberantasan korupsi," kata Burhanuddin.
Oleh karena itu, Jaksa Agung berharap wacana pemberian hukuman mati terhadap koruptor perlu dikaji lagi agar memberikan efek jera terhadap masyarakat.***