Muatan bermasalah tersebut, kata dia, seperti aturan pesangon yang semakin menurun kualitasnya dan tanpa kepastian hukum yang jelas.
“RUU ini akan semakin mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK karena uang pesangonnya lebih kecil," kata Syarif.
Baca Juga: Ancam Gunakan Senpi, Lelaki Berlagak seperti Koboi di Bekasi Diamankan Polisi
Pemerintah dan DPR RI juga bersepakat untuk memasukkan skema baru yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law untuk menyelesaikan permasalahan pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dinilai merugikan pekerja.
JKP yang menggunakan skema asuransi itu dinilai akan menyerap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) cukup besar.
Karena, selain mengharuskan pemerintah memberi dana kas atau data tunai per bulan kepada pekerja PHK, aturan terkait JKP juga mengharuskan pemerintah menyiapkan pendidikan dan pelatihan (diklat) pekerja untuk meningkatkan skill dan kapasitas pekerja dan memberi informasi pekerjaan atau menyalurkan pekerja kepada pekerjaan baru.
Baca Juga: Terkait Kabar Pengangkatan Dua Wakil Menteri Baru, Istana Akhirnya Buka Suara
"Aturan baru ini malah tidak implementatif, kontraproduktif, dan tidak pro-rakyat," ujar Syarief.
Selain itu, Syarief juga mengatakan akan ada ketentuan upah minimum yang hilang dengan disahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yaitu ketentuan mengenai Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
"Sebab, Pasal 88C ayat (2) hanya mengatur Upah Minimum Provinsi (UMP). UMP di hampir semua Provinsi lebih kecil dibandingkan UMK Kabupatennya, kecuali di DKI Jakarta. Akibatnya, upah buruh menjadi semakin kecil dan tidak layak. RUU ini menunjukkan ketidakberpihakannya terhadap buruh, karyawan, dan rakyat kecil," ujar Syarief.