Pangdam Jaya Sesumbar Siap 'Sweeping' FPI Jika Perlu, Refly Harun Sebut TNI Takuti Bangsa Sendiri

- 21 November 2020, 17:27 WIB
Refly Harun buka suara terkait pernyataan Mayjen Dudung terkait kesiapan pihaknya membubarkan FPI.
Refly Harun buka suara terkait pernyataan Mayjen Dudung terkait kesiapan pihaknya membubarkan FPI. /Instagram

PR BEKASI - Insiden pencopotan baliho-baliho yang memuat Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) menjadi perbincangan hangat publik Indonesia saat ini.

Panglima Daerah Militer Jayakarta (Pangdam Jaya) Mayjen TNI Dudung Abdurachman membenarkan pencopotan baliho tersebut oleh pihaknya. Dudung menilai, FPI telah berbuat seenaknya dengan memasang baliho tersebut.

Mayjen Dudung bahkan menyebutkan, saat ini massa FPI dinilai telah seenaknya dalam pemasangan baliho-baliho di berbagai tempat. Oleh sebab itu, Mayjen Dudung menilai FPI harus dibubarkan jika memang diperlukan.

Baca Juga: Terkait Kerumunan di Megamendung, Habib Rizieq Akan Dipanggil Polda Jabar untuk Diminta Klarifikasi

"Kalau perlu, FPI bubarkan saja! Kok mereka yang atur. Suka atur-atur sendiri," kata Mayjen Dudung.

Sikap Mayjen Dudung yang sesumbar siap bubarkan FPI itu, mendapat sorotan dari pakar hukum tata negara, Refly Harun.

Refly Harun mengungkapkan, TNI menakut-nakuti bangsa sendiri dan tidak menjalankan perannya sebagai pelindung rakyat.

Baca Juga: JK Sebut Persoalan HRS karena Kekosongan Kepemimpinan, Yunarto: Parah Anak Didiknya Sendiri Disindir

"TNI adalah alat negara dan harus menjadi pelindung negara, rakyat, dan bangsa ini dari pihak luar. Bukan menjadi kelompok bersenjata yang menakut-nakuti bangsa sendiri," kata Refly Harun dalam kanal YouTube-nya, sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com pada Sabtu, 21 November 2020.

Refly menyampaikan, dalam upaya menegakan negara konstitusional demokrasi, peran civil soviety seperti FPI diperlukan dalam mengimbangi peran negara. Menurutnya, keseimbangan harmonis kedua peran sama-sama dibutuhkan.

"Keseimbangan antara peran the state dan civil society. Jadi, the state harus jadi negara kuat. Tapi, civil society harus juga kuat mengimbangi dalam kemungkinan state menjadi negara otoriter. Keseimbangan harmonis itulah yang akan mengarah kepada negara konstitusional demokrasi," tutur Refly Harun.

Baca Juga: Komnas PA Ancam DKI Jakarta sebagai Kota Ramah Anak Dicabut, Ini Alasannya

Oleh sebab itu, Refly menilai negara tidak boleh takut atau lemah dalam menyikapi kritik-kritik yang dilayangkan oleh FPI.

"Negara jangan terlihat takut atau lemah dalam menghadapi kritik-kritik seperti kelompok masyarakat, seperti FPI," tutur Refly Harun.

Akan tetapi, Refly juga mengingatkan FPI dan ormas lain agar tidak merasa di atas hukum dalam bertindak, sekalipun memiliki massa yang banyak.

Baca Juga: Diduga Cabuli Anak, Oknum Petugas RPTRA Jakarta Terancam Hukuman 20 Tahun Penjara

"Tidak boleh ada yang merasa di atas hukum, kalaupun dalam konteks ini massa-nya banyak. Kita harus menghargai instutusi-institusi resmi yang ada," ucap Refly Harun.

Refly juga menambahkan, FPI dan ormas lain harus mematuhi hukum sebagaimana bagian dari keluarga besar NKRI.

"Kelompok FPI atau kelompok-kelompok lainnya, Anda harus patuh hukum sebagai bagian keluarga besar Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Refly Harun.

Baca Juga: Sama Seperti Ayahnya yang Remehkan Covid-19, Donald Trump Jr Kini Terkonfirmasi Positif Corona

Menurutnya, dengan sikap mematuhi hukum tersebut adalah bentuk memelihara demokrasi yang konstitusional. Demokrasi konstitusional menjamin kebebasan menyampaikan kritik, tetapi tidak melanggar hukum.

"Kita harus memelihara demokrasi, demokrasi yang konstitusional yakni demonstrasi berlandaskan atas hukum bukan demokrasi yang anarkis. Demokrasi berlandaskan atas hukum tersebut, Anda boleh menyampaikan kritik sekeras-kerasnya, tetapi tidak boleh melanggar hukum," ucap Refly Harun.

Contoh sikap melanggar hukum, Refly menambahkan, adalah memprovokasi massa, menghina, dan menyebarkan kebencian. Contoh-contoh sikap melanggar hukum itu tidak boleh diatasnamakan kritik.

Baca Juga: Sebut Pertemuan HRS dengan Ma'ruf Amin Penting Segera Diwujudkan, HNW: Demi Menguatkan NKRI

"Kritik itu bisa sifatnya sangat keras atau lemah lembut tergantung siapa orangnya dan apa yang mau disampaikan. Tapi, tidak boleh melanggar hukum misalnya memprovokasi massa, menghina, (dan) menyebarkan kebencian," kata Refly Harun.

Refly berpesan, kita harus bisa membedakan mana kritik dan mana provokasi sebab kritik adalah vitamin bagi demokrasi.

"Kita harus bisa membedakan mana kritik mana provokasi, karena kritik tersebut justru menjadi vitamin bagi demokrasi. Kritik itulah yang menjaga negara ini tetap on the righ track," ujar Refly Harun.

Baca Juga: UU Ciptaker Bentuk Reformasi Struktural, Ekonomi: RI Akan Membuat Investor Luar Lebih Tertarik

Refly juga mengingatkan FPI dan ormas lainnya, bahwa kritik kuat diperbolehkan oleh konstitusi selama tidak melanggar hukum.

"Jadi, tidak berarti kritik itu harus lembek. Kuat pun tidak apa-apa," tutur Refly Harun.***

Editor: Puji Fauziah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x