Dari Jepang Hingga Penumpasan PKI, Mayjen Sungkono Sosok Lain Perjuangan 'Berdarah' Surabaya

10 November 2020, 21:32 WIB
Mayjen Sungkono, tentara Surabaya yang memperjuangkan kebebasan dari Belanda. /Surabayastory.com

PR BEKASI- Peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2020 tidak luput dari kisah perjuangan Bung Tomo yang foto ikoniknya tersebar setiap peringatan Hari Pahlawan.

Meskipun dalam foto tersebut Bung Tomo memakai baju militer, tapi latar belakang Bung Tomo bukan dari golongan militer hingga pada sekira tahun 1950-an ia diberi gelar militer.

Namun, ternyata di balik itu ada pejuang yang turun langsung ke medan pertempuran Surabaya berasal dari golongan militer yang tidak banyak diketahui oleh publik yakni Mayjen Sengkono.

Mayjen Sengkono lahir pada Minggu, 1 Januari 1911 di Purbalingga Kidul, Kabupaten Purbalingga (sekarang Jalan Letkol Isdman Purbalingga Kidul atau dikenal dengan prapatan bantheng).

Baca Juga: Dituduh Dalang Penghapusan 'Red Notice' Djoko Tjandra, Napoleon Bonaparte: Saya Merasa Dizalimi 

Ia lahir dari pasangan suami istri, seorang tukang jahit yakni Tawireja dan Rinten. Ia juga menikah dengan wanita bernama Isbandiyah.

Diketahui bahwa ia menempuh pendidikan di HIS (Hollands Indische School) tahun 1928. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya ke MULO dan setelah lulus, meneruskan ke Zelfontelkeling hingga kelas dua dan mengantongi ijasah K.E.

Sementara, pendidikan militer selama dua tahun yang diperoleh dari sekolah teknik perkapalan atau KIS (Kweekschool voor Inlandsche Schepelingen) di Makasar dan bekerja di K.M (Koninklijke Marine). Kemudian, ia masuk tentara PETA dan mengikuti latihan di Bogor.

Pada awal tahun 1945, ia diangkat menjadi Chodancho (komandan kompi) dengan pangkat kapten dan ditempatkan di Daichi daidan Surabaya.

Baca Juga: Imbas Membludaknya Simpatisan Habib Rizieq, Bandara Soetta dan Maskapai Rugi Puluhan Miliar Rupiah 

Ketika terjadi pemberontakan PETA di Blitar, Sungkono dicurigai dan “diamankan” di Renceitai Bogor.

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, ia mengajak mantan anggota PETA, Heiho, KNIL, dan pemuda pejuang bergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR). Diketahui, mereka bertugas merebut senjata dari tangan Jepang agar pasukannya memiliki persenjataan yang lebih memadai.

Ia kemudian diangkat menjadi komandan BKR Surabaya. Di Banyumas, pelecutan senjata Jepang oleh BKR pimpinan Letkol Isdiman dilakukan dengan cara diplomasi tanpa ada pertumpahan darah.

Chudanco Sungkono yang juga putra Banyumas, menempuh cara yang sama. Ia mengadakan pembicaraan dengan tentara Jepang yang dipimpin Iwabe. Lewat pembicaraan yang alot, akhirnya senjata bisa diperoleh.

Baca Juga: Yuk Nikmati Tiga Rute Baru TransJakarta Ini, Gratis Selama Dua Pekan 

Setelah proklamasi, Jepang saat itu masih juga berkuasa. Maka pada bulan September 1945, Sungkono memimpin perjuangan pengambilan kekuasaan sekaligus melucuti senjata Jepang.

Diketahui, memang jenderal Iwbe sudah memberi pesan, agar jangan ada dendam. Tetapi kebengisan tentara Jepang saat mereka masih berjaya sulit dilupakan.

Pada 23 Mei 1946, terjadi daerah divisi dan Panglimanya. Sungkono menjadi panglima divisi VI TRI dengan nama Divisi Narotama, yang daerahnya meliputi Surabaya, Madura dan Kediri.

Dengan pangkat kolonel, ia kemudian menjadi Ketua Gabungan Komando Pertahanan divisi – divisi V, VI, VII TRI Jawa Timur. Setelah Perjanjian Renville 17 Januari 1948 di Jawa Timur diadakan konsolidasi pasukan.

Baca Juga: Jutaan Massa Jemput Kepulangan Habib Rizieq, Pengamat: Kekuatan Politik 2024 Kini Sudah Terbentuk 

Markas Besar Tentara (MBT) membentuk Dewan Tata Tertib Opsir Tinggi (DTTOT) di bawah pimpinan Mayor Jenderal A.H. Nasution dengan alasan reorganisasi dan rasionalisasi Angkatan Darat.

Sungkono diturunkan pangkatnya menjadi Letnan Kolonel. Ia menghadap Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang sama–sama berasal dari Kabupaten Purbalingga.

Jendral Sudirman memberi saran pada Sungkono untuk menerima dan tetap menunjukkan ketaatan dan kepatriotannya.

Sementara, Presiden Soekarno menyatakan SOB Negara Dalam Keadaan Bahaya (Staats van Oorlog en Beleg) karena pemberontakan PKI Madiun pimpinan Alimin dan Muso pada tanggal 18 September 1948.

Untuk mengatasi pemberontakan PKI itu, Presiden Soekarno mengangkat Sungkono menjadi Gubernur Militer Jawa Timur dan pangkatnya dikembalikan menjadi Kolonel.

Baca Juga: ILC Bertemakan Habib Rizieq Batal Digelar, Fadli Zon: Padahal Saya Sudah OTW Jakarta dari Bandung 

Tugas utamanya adalah menumpas pemberontakan PKI Madiun. Dalam bulan Oktober 1948 pemberontakan itu berhasil ditumpas dan keamanan pulih kembali.

Kolonel Sungkono kemudian dilantik menjadi Panglima Divisi I Brawijaya, Jawa Timur.

Baru satu setengah bulan menjabat Panglima, tanggal 19 Desember 1948, Belanda kembali melakukan aksi militer.

Pada bulan Januari, Februari 1948 pasukan Sungkono harus menghadapi dua front.

Di satu sisi menghadapi Belanda, di sisi lain menghadapi pengacau di garis belakang yaitu TRIP Batalyon Zaenal dan batalyon 38 pimpinan Sabarudin.

Baca Juga: Pernah Dituding Buronan oleh Arab Saudi, Habib Rizieq: Saya Punya Dokumen Kerja Sama dengan BIN 

Kedua front itu ternyata bisa dimenangkan dan diselesaikan dengan baik. Yang pernah diucapkan Sungkono saat terjadi pertempuran 10 November 1945 lalu akhirnya terbukti.

Pada 24 Desember 1949, ia kembali ke Surabaya sebagai pemenang. Komandan Divisi A Belanda Mayor Jenderal Baay secara resmi menyerahkan kota Surabaya kepada Panglima Divisi I Brawijaya Kolonel Sungkono.

Menjelang pemulihan kedaulatan, ia mempelopori pembubaran Negara Jawa Timur dan Madura bentukan Belanda untuk masuk ke Negara kesatuan RI. Tanggal 22 Februari 1950, Markas Divisi I dipindahkan dari Nganjuk ke Surabaya.

Baca Juga: Demi Tingkatkan Kunjungan Turis Mancanegara, UEA Perbolehkan Warganya Minum Alkohol dan Kumpul Kebo 

Mayjen Sungkono dalam dalam perjalanan kariernya sempat menduduki beberapa jabatan, di antaranya sebagai berikut.

1. BKR, TKR, TRI, TNI di Kota dan Wilayah Banyumas (1945)

2. Panglima Divisi VII TKR, meliputi daerah Surabaya, Bojonegoro dan Madura (1946)

3. Panglima Divisi VI TRI dengan nama Divisi Narotama, yang daerahnya meliputi Surabaya, Madura dan Kediri (1946)

4. Gubernur Militer Jawa Timur (1948)

5. Panglima Divisi I Brawijaya (1948)

6. Inspektur Jenderal Pengawasan Umum Angkatan Darat (1958)

7. Penasehat Menteri/Pangad (1968)

Diketahui bahwa Mayjen Sungkono wafat di Jakarta pada 12 September 1977 atau pada usia 66 tahun.

Saat ini namanya diabadikan menjadi nama jalan utama di Kota Surabaya yakni Jalan Mayjen Sungkono.***

Editor: M Bayu Pratama

Tags

Terkini

Terpopuler