Beri Instruksi Baca Buku Felix Siauw 'Muhammad Al-Fatih 1453', Basarah Kritik Habis Kadisdik Babel

- 3 Oktober 2020, 16:04 WIB
Wakil Ketua MPR RI Ahmad basarah./ANTARA/Ho-Humas MPR RI/am
Wakil Ketua MPR RI Ahmad basarah./ANTARA/Ho-Humas MPR RI/am /

 

PR BEKASI - Kebutuhan bahan bacaan akan sejarah menjadi penting bagi para pelajar agar mendapat pengalaman dan wawasan dari kisah orang di masa lalu sebagai pelajaran yang bisa diambil.

Tidak jarang, biografi seorang tokoh inspiratif turut membantu membangun karakter para pemuda Indonesia agar lebih matang.

Kebutuhan bacaan tersebut biasanya diajarkan dalam pelajaran sejarah yang umumnya berisi kisah perjalanan bangsa dan para pahlawan.

Baca Juga: Pintar Manfaatkan Peluang di Tengah Pandemi, Usaha Olahan Tuna Bu Hirto Kini Berkembang Pesat

Meski begitu, sosok inspiratif juga dapat dipelajari dari kisah yang terjadi di luar negeri dan lintas generasi.

Namun, beberapa waktu lalu timbul kontroversi di dunia pendidikan ketika Kepala Dinas Pendidikan Bangka belitung yaitu Muhammad Soleh meminta para siswa SMA/SMK di Bangka Belitung untuk membaca buku yang dibuat oleh Felix Siauw berjudul 'Muhammad Al-Fatih 1453'.

Felix Siauw merupakan seorang yang mengagumi kesejarahan Turki Utsmani, bahkan nama Muhammad Al-Fatih dipilihnya menjadi nama muslimnya hingga memberikan tahun ‘1453’ sebagai salah satu bagian dari nama anaknya.

Baca Juga: Paksa Anak di Bawah Umur Lakukan Adegan Vulgar, Pria Ini Dijatuhi Hukuman 600 Tahun Penjara

Ketertarikan mendalam tersebut yang menjadikannya membuat buku tentang sosok inspiratif dari Turki tersebut.

Sebagai pembuat buku yang juga dikenal sebagai tokoh dari organisasi yang telah dilarang oleh pemerintah Indonesia yaitu Hizbut Tahrir (HTI) instruksi terhadap siswa tersebut menuai kontroversi, salah satunya karena organisasi tersebut dinilai bertentangan dengan Pancasila.

Karena itu, Wakil ketua MPR RI Ahmad Basarah memberikan kritiknya terhadap Muhammad Soleh karena telah memberi instruksi agar para siswa membaca buku tersebut dan kemudian merangkumnya dan mengumpulkan tugas tersebut ke sekolah masing-masing.

Baca Juga: Hati-hati, Ini Tiga Dampak Buruk dari Kurang Tidur Bagi Kesehatan Pria

"Seperti kita tahu, penulis buku itu adalah tokoh organisasi yang dibubarkan oleh Pemerintah karena asas organisasinya berlawanan dengan pancasila," ujar Ahmad Basarah, seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara, Sabtu, 3 oktober 2020.

Dirinya juga menganggap wajar saja jika kontroversi muncul karena dugaan terhadap buku tersebut dinilai bagian dari propaganda terselubung pengusung ideologi transnasional.

Menurut Basarah, masih banyak para tokoh pahlawan nasional inspiratif yang bisa diteladani oleh para siswa.

Baca Juga: Pelajar Muslim Dilarang Berjilbab, Presiden Prancis: Islam Sedang Alami Krisis di Seluruh Dunia

"Apa kurangnya ketokohan Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, K.H. Hasyim Asy'ari, bung Karno, Bung Tomo, atau ketokohan Jenderal Soedirman? Kisah-kisah keteladanan mereka lebih punya alasan untuk siswa dan siswi diwajibkan membacanya," tuturnya.

Karena itu, Basarah meminta agar ASN dapat patuh terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 terkait kewajiban taat dan patuh pada ideologi Pancasila.

Dalam tugasnya yang terkandung dalam pasal 3 UU tersebut dinyatakan ASN harus memiliki prinsip nilai dasar, kode etik, kode perilaku, komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pelayanan publik.

Baca Juga: Ajak MUI Verifikasi Kehalalan Vaksin Sinovac, Jubir Wapres: Kalau Tidak Halal, Tidak Masalah

Sebab itu, Basarah ingatkan bagi para pelanggar UU akan mendapatkan pemberhentian dengan tidak terhormat.

Sementara itu, Pancasila sendiri saat ini belum dinyatakan secara eksplisit dalam UU No.20/2003 perihal mata pelajaran wajib pendidikan mulai dari pendidikan sekolah dasar hingga atas.

Karena itu Basarah mengatakan pancasila menjadi pekerjaan rumah bersama, bukan justru menjadikan bebas untuk memasukkan nilai lain.

Baca Juga: Luhut Pandjaitan Perintahkan BPPT dan Bio Farma Segera Produksi Alat Tes PCR-Rapid

"Jangan karena pendidikan Pancasila belum dihidupkan di jenjang ini dalam undang-undang, lalu pembuat kebijakan di daerah bisa dengan seenaknya sendiri memasukkan nilai-nilai yang bertentangan dengan dasar negara kita, Pancasila," ujarnya.***

Editor: Puji Fauziah

Sumber: Permenpan RB


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x