Aturan Pajak Pulsa Tak Perlu Jadi Polemik, Stafsus Menkeu: Ini Hal Biasa, Bahkan Untungkan Publik dan Negara

30 Januari 2021, 16:02 WIB
Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo. /Instagram.com/@prastowoyustinus/

PR BEKASI - Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo ikut angkat bicara soal Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 06/2021 terkait pemungutan pajak atas penjualan pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucher.

Yustinus Prastowo mengatakan, seharusnya peraturan tersebut tak perlu menjadi polemik di tengah masyarakat.

Pasalnya, Yustinus Prastowo menegaskan bahwa peraturan tersebut akan menguntungkan publik dan negara karena memberikan kepastian hukum dan pemungutan disederhanakan.

Baca Juga: Segera Akhiri Masa Jabatan, Pasha Ungu Bersiap Comeback ke Dunia Musik dengan Rilis Album Baru

"Jadi sesungguhnya tak perlu terjadi polemik dan kontroversi. Ini hal yang biasa, bahkan menguntungkan publik dan negara," kata Yustinus Prastowo, yang dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari cuitan Twitter @prastow, Sabtu, 30 Januari 2021.

Yustinus Prastowo lantas menjelaskan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa telekomunikasi telah mengalami perkembangan pesat, yang semula sarana transmisinya dari kabel berubah menjadi voucher pulsa dan pulsa elektrik.

Dia juga menjelaskan bahwa PPN atas jasa telekomunikasi sudah tertuang sejak UU 8/1983, atau setidaknya dikenai pajak sejak PP 28/1988 yang mengatur secara spesifik tentang PPN Jasa Telekomunikasi.

Baca Juga: Muncul Usulan Lockdown Pulau Jawa, Zubairi Djoerban: Terapkan Saja, Tegas dan Konsisten

"Jika dulu Perumtel sebagai pengusaha yang wajib memungut PPN atas penyerahan jasa telekomunikasi, kini tentu saja wajib dilakukan seluruh provider jasa telekomunikasi," kata Yustinus Prastowo.

"Mekanismenya normal, PPN dipungut di tiap mata rantai dengan PPN yang dibayar dapat dikurangkan, yang disetor selisihnya," sambungnya.

Namun menurutnya, timbul permasalahan di lapangan, khususnya di distributor dan pengecer sebagai bagian mata rantai, terutama yang skala menengah-kecil kesulitan menjalankan kewajiban karena secara administrasi belum mampu.

Baca Juga: Salut Teddy Relakan Hak Warisnya, Pengacara: Padahal Kalau Dihitung, Dia Dapat Banyak Loh

Akibatnya, terjadi perselisihan di lapangan dengan Kantor Pajak, sehingga ada imbauan dan pemeriksaan pajak.

"Dispute di lapangan tak terhindarkan dan timbul ketidakpastian. Kadang ketetapan pajak yang besar sangat memberatkan distributor/pengecer. Tapi petugas pajak tak keliru ketika ada objek ya ditagih. Jika dibiarkan, ada kerugian di kedua pihak. Maka ini dimitigasi @DitjenPajakRI," tutur Yustinus Prastowo.

Dari permasalahan itu, maka terbitlah PMK 6/2021, yang intinya memberi kepastian status pulsa sebagai Barang Kena Pajak agar seragam karena kadang dipahami sebagai jasa.

Baca Juga: Dukung Pelaku Rasisme Diproses Hukum, Wabup Mimika: Perbedaan Tak Boleh Jadi Alasan Mendiskreditkan Sesama

Lalu pemungutan disederhanakan hanya sampai dengan Distributor besar, sehingga meringankan distributor biasa dan para pengecer pulsa.

"Jadi mestinya kebijakan ini disambut baik. PPN atas pulsa (jasa telekomunikasi) memang sudah lama terutang dan tak berubah, pedagang dipermudah, konsumen tidak dibebani pajak tambahan," kata Yustinus Prastowo.

Sementara itu, terkait Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5 persen, besarannya hanya Rp500 dari voucer pulsa Rp100.000.

Baca Juga: Setop Memisah karena Suku dan Agama, Susi Pudjiastuti: Kita Harus Bangga Indonesia Kaya akan Budaya

"PPh 0,5 persen ini ilustrasinya Rp 500 perak dari voucher pulsa Rp100.000. Ini dipungut tapi bisa dijadikan pengurang pajak di akhir tahun, ibarat cicilan pajak. Bagi yang sudah wajib pajak UMKM dan punya Surat Keterangan, tinggal tunjukan dan tak perlu dipungut lagi. Adil dan setara bukan?," tutur Yustinus Prastowo.***

Editor: Rika Fitrisa

Tags

Terkini

Terpopuler