Pertahankan Tanah Leluhur, Rumah Petani Ini Terpaksa Dijepit Bandara Terbesar Kedua di Jepang

19 Agustus 2020, 13:36 WIB
Foto udara penampakan rumah Takao Shito yang berada di tengah Bandara Narita, Jepang. /Oddity Central /Oddity Central/

PR BEKASI - Tinggal di rumah yang terletak dekat dengan bandara tentu bukanlah hal yang menenangkan. Deru pesawat lepas landas dan mendarat jelas akan membuat siapapun akan terganggu pendengarannya.

Namun, ada kisah tentang seorang petani Jepang yang rela bertahan hidup dan tinggal di tempat dengan kondisi yang tak lazim itu.

Ialah keluarga Takao Shito, petani sayuran yang mewarisi tradisi keluarga lebih dari 100 tahun. Kakek dan ayahnya adalah seorang petani, dan kini dia juga berprofesi sama.

Baca Juga: Burung Garuda dan Chim Lac Jadi Logo Baru Resmi Perayaan ke-65 Persahabatan Indonesia dan Vietnam

Hanya saja ada hal-hal yang sedikit berbeda dari Shito dengan leluhurnya. Dahulu kebun pertanian Shito adalah desa yang dihuni 30 keluarga yang dikelilingi ladang terbuka,.

Akan tetapi, desa ini kini berdiri sendiri di tengah Bandara Narita, bandara terbesar kedua di Jepang. Pesawat terbang melintas di atas kepalanya 24 jam setiap sehari.

Satu-satunya cara untuk pergi dan pulang dari ladang adalah melewati terowongan bawah tanah. Kebanyakan penduduk di sana tidak sanggup tinggal di desa itu dan sangat ingin pindah, tapi Takao Shito memilih jalan lain.

Baca Juga: Tol Cibitung-Cilincing Ambruk, Ahmad Syaikhu: Kita Patut Heran, Kenapa Konstruksi Tol Selalu Ambruk

Takao Shito, tetap berjuang mempertahankan ladangnya selama lebih dari dua dekade. Shito bahkan menolak tawaran lebih dari 1,7 juta dolar untuk tanahnya.

"ini adalah tanah yang diwarisi oleh tiga generasi selama hampir satu abad, oleh kakek ku, ayah ku dan aku sendiri. Aku ingin terus tinggal di sini dan bertani," kata Shito kepada AFP beberapa tahun lalu, seperti dikutip Pikiranrakyat-bekasi.com dari Oddity Centara, Rabu, 19 Agustus 2020.

Ayah Takao, Toichi, adalah petani paling tangguh dan berani untuk menghalangi rencana Pemerintah memperluas Bandara Narita sejak tahun 1970-an.

Baca Juga: Tak Ingin Kecolongan dalam Penanganan Covid-19, KPK Bentuk 15 Satgas Khusus Cegah Korupsi

Sebagian besar petani lain di daerah itu telah dirayu untuk menjual tanah mereka dengan insentif yang lumayan, tetapi Toichi Shito tidak mau. Keyakinan ini diwarisi Takao sebagai seorang anak.

Ketika ayahnya meninggal pada usia 84 tahun, dia berhenti dari pekerjaannya di bisnis restoran dan memilih bertani untuk keluarga dan melanjutkan perjuangan leluhurnya.

Takao Shito kerap terlibat dalam perselisihan hukum dengan pihak yang secara paksa ingin mengusirnya dari tanah yang telah ditanami ayahnya selama lebih dari 100 tahun.

Baca Juga: Asteroid 2020 QG Sempat Lintasi Bumi dengan Sangat Dekat, NASA: Tak Sebabkan Bahaya

Meski melelahkan, tetapi dia tidak berniat mundur. Perjuangannya pun menarik ratusan sukarelawan dan aktivis bersatu mendukungnya selama bertahun-tahun.

"Aku ditawari uang asalkan mau meninggalkan ladangku," ujar Takao kepada BBC.

"Mereka menawarkan 180 juta yen. Itu setara dengan gaji seorang petani selama 150 tahun. Tapi aku tidak tertarik dengan uang dan ingin terus bertani. Aku juga tidak pernah berpikir untuk pergi," sambungnya.

Baca Juga: Kritiki Wacana Penerapan Pendidikan Militer untuk Mahasiswa, Peneliti: Bubarkan Saja Kampus yang Ada

Bandara Narita adalah gerbang internasional utama Tokyo yang dikunjungi sekitar 40 juta penumpang dan 250.000 penerbangan setahun.

Landasan pacu kedua seharusnya melewati tanah Takao Shito, tetapi karena masalah hukum, landasan pacu tersebut dibuat mengelilinginya.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: Oddity Central

Tags

Terkini

Terpopuler