Ahli Epidemiologi Sebut Vaksin Covid-19 Hanya Bisa Diberikan untuk Orang Sehat, Mengapa?

- 14 Januari 2021, 18:20 WIB
Ilustrasi penyuntikan vaksin Covid-19 Sinovac.
Ilustrasi penyuntikan vaksin Covid-19 Sinovac. /The Wall Street Journal

PR BEKASI - Ahli Epidemiologi dari Universitas Airlangga Surabaya Dr dr M Atoillah Isfandiari mengatakan bahwa vaksin Covid-19 seperti Sinovac harus diberikan kepada orang yang masih sehat.

Pasalnya, lanjut dia, vaksin berbeda dengan obat karena fungsi dari vaksin adalah untuk mencegah yang sehat agar tidak sakit.

Oleh karena itu kata dia, jika sudah sakit, bukan menjadi target dari vaksin karena yang bersangkutan sudah mempunyai antibodi alami yang mungkin memang akan terdegradasi seiring waktu.

Dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara, Wakil Dekan II Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair itu juga menjelaskan, penggunaan vaksin Sinovac perlu diprioritaskan untuk mereka yang belum punya kekebalan sama sekali, seperti tenaga kesehatan atau tim medis.

Baca Juga: Tetap Harus Terapkan Prokes, Pakar: Meski Sudah Divaksinasi, Bukan Berarti Bisa Melepas Masker

"Yang harus diberikan dulu ya tentunya yang bisa menolong dulu orang sakit, dalam hal ini adalah tenaga medis," kata Ato, sapaan akrabnya.

Karena analoginya, tutur dia, tenaga medis aman dari infeksi, maka selanjutnya bisa lebih optimal dalam menolong orang lain, termasuk juga menolong untuk mendapatkan kekebalan.

Ia menyebut vaksin Sinovac mempunyai beberapa keunggulan, seperti menggunakan platform lama yang sudah sangat dikenal produsen vaksin, yaitu inactivated virus atau virus yang dimatikan.

"Efek samping dari vaksin itu tercatat kurang dari 1 persen. Artinya, memiliki keamanan yang sangat tinggi, meskipun memiliki efikasi vaksin sebesar 65,3 persen. Efikasi vaksin sebesar itu bisa dibilang jauh lebih rendah dibanding vaksin lainnya," kata Dr Atoillah.

Baca Juga: Jaga Kesehatan Mata Anda Selama Pandemi Covid-19, Ikuti 4 Tips Ini, Salah Satunya Rumus 20-20-20

Ato mengatakan, Sinovac juga relatif mudah disimpan dan tidak membutuhkan cold chain atau rantai dingin yang canggih, seperti vaksin Pfizer yang membutuhkan penyimpanan minus 70 derajat.

"Vaksin dari perusahaan China tersebut masih memungkinkan jika disimpan di dalam lemari pendingin biasa," ujarnya.

Ia menjelaskan, dikeluarkannya izin pakai darurat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sangat tepat, karena melihat semakin banyak korban COVID-19 berjatuhan.

Terkait efek samping pascauji klinis dilakukan, Ato mengatakan, waktu ideal yang dibutuhkan adalah enam bulan untuk pemantauan agar mengetahui efek sampingnya.

Baca Juga: Arkeolog Australia Ungkap Lukisan Gua Tertua di Dunia, Ternyata Ada di Indonesia

"Jadi, uji klinis fase 3-nya sudah selesai, sehingga data-data yang dicatat selama pelaksanaan uji klinis hasilnya bisa diperoleh dan dianalisis. Uji klinis sudah selesai hanya versi pemantauan pasca-uji-nya itu yang kemudian kita tunggu dengan pertimbangan bahwa selama uji mulai ke-1 sampai ke-3 laporan terkait dengan keamanan dan efikasi sudah didapatkan," tuturnya.

Editor: Puji Fauziah

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x