Kapitra Ampera pun tak setuju jika banyak pihak yang meragukan TWK hanya kareka ada 75 karyawan yang dianggap berprestasi.
"Bukan masalah prestasinya, ini kenapa ngotot? Kalau yang 75 ini merasa berprestasi ya keluar aja, biar aja orang yang merasa mampu mengurus KPK. Bikin dong lembaga swadaya (LSM) masyarakat untuk mengontrol pemerintah ini," ujar Kapitra Ampera.
Kapitra Ampera lantas menduga adanya kepentingan tertentu dari 75 pegawai KPK tersebut yang tetap ngotot berada di KPK meski sudah dinonaktifkan.
"Tetapi ini kayaknya ada kepentingan apa? Masyarakat itu terbelah melihatnya. Kemarin juga ada pergantian pimpinan baru ribut juga. Ini kan karyawan, ini anak buah, kan harus ada hierarkinya. Lalu penegakan hukum dipakai cara-cara seperti LSM," kata Kapitra Ampera.
"Ya saya juga bertanya, kepentingan apa yang 75 ini? Kalau gak lulus ya sudah, kenapa harus ngotot bertahan di KPK? Emang kalau 75 orang ini gak ada, KPK rontok? KPK masih ada sampai hari ini," sambungnya.
Kapitra Ampera pun menegaskan bahwa KPK akan selalu ada, meski 75 pegawai yang dinonaktifkan karena tak lulus TWK tersebut tidak ada lagi di KPK.
"KPK sebagai lembaga pasti ada. Tapi kita lihat bagaimana ke depannya, kan belum ada komparatifnya, belum ada diuji, apakah kalau 75 ini diganti dengan yang lain, apakah penegakan hukum di KPK mandul atau stagnasi? Lihatlah ke situ dengan jernih," kata Kapitra Ampera.
Terakhir, Kapitra Ampera mengimbau agar ke 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan tersebut tidak keras kepala dengan ngotot ingin tetap berada di KPK.