"Contohnya, belanja di supermarket beli daging segar wagyu, tidak dikenai PPN saat ini. Beli beras kualitas premium, yang 1 liternya bisa Rp200.000, impor, tidak kena PPN. Sementara orang miskin beli beras murah di pasar tradisional Rp10.000 per liter, tidak kena PPN juga, padahal daya belinya berbeda jauh," tuturnya.
Yustinus Prastowo juga menjelaskan bahwa hal itu berlaku pula di bidang kesehatan. Contohnya, ketika ada artis operasi plastik dan orang miskin operasi katarak, keduanya sama-sama tidak kena PPN.
"Jadi ada gap income yang sangat lebar, tetapi perlakuannya sama. Ini ruang-ruang ketidakadilan yang harus ditata mulai sekarang, supaya nanti kita punya landasan yang lebih adil," ujar Yustinus Prastowo.
Oleh karena itu, Yustinus Prastowo menilai bahwa saat ini banyak yang disalahpahami oleh publik, terkait rencana PPN sembako, pendidikan, hingga kesehatan yang tengah disiapkan oleh pemerintah saat ini.
"Nah, yang disalahpahami oleh publik, dengan dikeluarkan dari pasal pengecualian, sehingga dia menjadi objek pajak, itu serta merta dikenai pajak," ujar Yustinus Prastowo.
"Padahal, dia dikeluarkan dari pasal pengecualian, supaya bisa masuk ke sistem, terdata, tercatat, bisa diadministrasikan. Sehingga kita tahu yang diimpor apa saja dan berapa besarnya," sambungnya.
Yustinus Prastowo pun mengimbau semua pihak agar fokus pada dua hal yang rencananya bisa dikenai PPN sembako, contohnya daging dan beras, terutama yang impor.
"Kita fokus kedua saja sekarang, yang rencananya bisa dipajaki, karena secara administrasi juga lebih mudah dan kasat mata. Contoh, daging dan beras, selebihnya tidak akan dipajaki," kata Yustinus Prastowo.