Keberpihakan RUU Ciptaker Dipertanyakan, Pakar Politik: ‘Menginjak’ Asas Keadilan Jika Disahkan

- 5 Oktober 2020, 10:27 WIB
Ratusan buruh menggelar aksi unjuk rasa menentang RUU Cipta Kerja di Jakarta pada Januari lalu./ANTARA
Ratusan buruh menggelar aksi unjuk rasa menentang RUU Cipta Kerja di Jakarta pada Januari lalu./ANTARA /

 

 

PR BEKASI – Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) dinilai jauh dari asas kebermanfaatan.

Hal tersebut ditandai dengan banyaknya penolakan dari masyarakat dan juga serikat pekerja.

Pakar Politik dari Univestias Indonesia (UI), DR Ade Reza Hariyadi ikut buka suara terkait hal itu pada Senin, 5 Oktober 2020.

Baca Juga: Masih di Bawah 'Jajahan' Prancis, Wilayah yang Banyak Dihuni Keturunan Indonesia Tolak Merdeka

“Kalau selama ini muncul banyak protes dari kalangan serikat pekerja, tentu bagi mereka melihat kebermanfaatannya yang kurang,” ucapnya seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari RRI.

Seharusnya, menurut dia, pemerintah menjalankan fungsi sebagai mediator dan analisator kepentingan, antara kepentingan serikat pekerja dengan kepentingan pengusaha.

“Dalam konteks ini, kita lihat kebermanfaatannya ya berat mana, apakah ini dapat menyederhanakan masalah obesitas regulasi, dan menghasilkan pasal-pasal yang visioner menjawab masalah-masalah sektor ketenagakerjaan kita secara adil,” tutur DR Ade Reza Hariyadi.

Baca Juga: TNI Rayakan HUT ke-75, Pengamat Militer: Kuasai Senjata Biologi dan Pertahanan Negara

“Atau justru beratnya (heavy) lebih banyak memberikan keuntungan kepada para pengusaha dan investor,” ucapnya melanjutkan.

DR Ade Reza Hariyadi pun menduga, jika RUU tersebut tetap disahkan akan muncul berbagai reaksi.

“Saya menduga kalau ini jadi disahkan, akan memunculkan reaksi tidak hanya penolakan politik, tetapi juga langkah-langkah gugatan Judicial Review yang diambil oleh masyarakat ke Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Baca Juga: 5 Rekomendasi Film Terbaru di Iflix yang Bisa Kamu Tonton di Rumah

Dengan demikian, akan jelas nantinya apakah Undang-Undang tersebut memenuhi kaidah atau tidak.

“Nanti akan terbukti, apakah secara formil atau materil, RUU Cipta Kerja ini telah memenuhi kaidah-kaidah yang ditentukan atau tidak,” tutur DR Ade Reza Hariyadi.

Selain dipertanyakan keberpihakan dan beratnya kepada pihak yang mana, legitimasi RUU Ciptaker juga dinilai kurang.

Baca Juga: Bagikan Kisahnya Tangani Pasien, Dokter Wisma Atlet Ungkap Rahasia Agar Cepat Sembuh dari Covid-19

Seyogyanya, pembahasan tidak hanya memenuhi syarat formal, namun juga material, termasuk juga filosofis.

“Secara materil, saya kira ini juga akan menjadi persoalan, kenapa? Ya dengan banyak yang protes dari beragam kelompok masyarakat tidak hanya dari kalangan pekerja saja,” ujar DR Ade Reza Hariyadi.

“Sebetulnya menunjukkan bahwa ada pasal-pasal di dalam RUU Omnibus Law itu yang dianggap kurang merepresentasikan aspirasi-aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat,” ucapnya melanjutkan.

Baca Juga: RS Diisukan ‘Mengcovidkan’ Pasien untuk Mendulang Keuntungan, Moeldoko Diminta Beri Bukti yang Sah

Terutama, yang paling mencolok adalah isu-isu yang terkait dengan hak pekerja, sebagaimana disuarakan oleh serikat pekerja.

“Ya, tapi problemnya saya kira Undang-Undang itu tidak hanya harus memenuhi syarat formal, tetapi juga syarat material, termasuk juga aspek filosofis dan aspek lainnya,” tutur DR Ade Reza Hariyadi.

Dia mengungkapkan, dengan tidak disetujui oleh dua partai, maka tingkat legitimasinya juga akan berkurang, meski syarat formalnya terpenuhi.

Baca Juga: Tujuh Bulan Covid-19 di Indonesia, P2PTM Kemenkes RI Berikan Tips Kelola Stres

“Ya tapi kalau ada dua fraksi yang tidak ikut menyetujui, berarti bentuk legitimasi formalnya akan berkurang. Termasuk juga legitimasi politiknya, juga pasti akan berkurang,” ujar DR Ade Reza Hariyadi.

Pengesahan RUU Ciptaker pun dinilai akan mengenyampingkan asas keadilan, dan dinilai akan lebih adil jika pemerintah serta DPR menahan diri untuk tidak tergesa-gesa melakukan pembahasan.

“Semestinya, jika masyarakat selama ini dilarang untuk menyampaikan aksi protes dengan alasan-alasan Covid, akan lebih adil (fair) jika ada asas perlakuan yang sama,” tutur DR Ade Reza Hariyadi.

Baca Juga: Cek Fakta: Ahli Virologi Tiongkok yang Kabur ke Amerika Sebut Covid-19 Adalah Buatan Laboratorium

“Misalkan, ketika opini-opini yang mengkritisi itu juga diakomodir dengan baik, DPR maupun pemerintah menahan diri untuk tidak tergesa-gesa melakukan pembahasan,” ujarnya melanjutkan.

Dengan begitu, ada perlakuan yang tidak adil ketika masyarakat kehilangan hak-hak politik untuk berpartisipasi dalam kerangka penyusunan satu perundang-undangan.

“Sekali lagi, kenapa tidaka da asas perlakuan yang adil. Seharusnya kalau yang ini dilarang dengan alasan protokol kesehatan, yang di sini diminta untuk memberikan respon yang adil juga,” ucap DR Ade Reza Hariyadi.

Baca Juga: Tugas DPR Dinilai Berubah Fungsi, LBH: Kini Menjadi Wakil Pemodal dan Pengusaha, Bukan Wakil Rakyat!

“Misalkan menahan diri untuk tidak tergesa-gesa sehingga asas representasi aspirasi publik ini bisa terwakilkan secara efektif,” ujarnya melanjutkan.***

Editor: Puji Fauziah

Sumber: RRI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah