Sosok Marsinah yang Perjuangkan Hak Buruh, Diculik dan Dianiaya Hingga Tewas di Tengah Hutan

- 10 Oktober 2020, 17:36 WIB
Marsinah kembali diungkit setelah UU Cipta Kerja disahkan.
Marsinah kembali diungkit setelah UU Cipta Kerja disahkan. /Galih Nur Wicaksono/https://www.rudolfdethu.com/

PR BEKASI – Sejak disahkannya Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang berujung diwarnai demonstrasi penolakan dari para pekerja dan mahasiswa.

Masyarakat menilai bahwa kebijakan UU Cipta Kerja tersebut merugikan dan mengabaikan hak pekerja. Selain itu, masyarakat juga menyinggung sosok Marsinah.

Dikutip oleh Pikiranrayat-Bekasi.com dari akun Twitter resmi mwv.mystic @mwv_mystic pada Sabtu, 10 Oktober 2020, Marsinah merupakan aktivis dan buruh pabrik pada zaman pemerintahan Orde Baru.

Dalam cuitan dan foto Marsinah yang diunggah pada 1 Mei 2020 lalu oleh @mwv_mystic, bahwa 1 Mei diperingati sebagai hari buruh nasional, hal tersebut tidak lepas dari peran seorang wanita yan bernama Marsinah.

Baca Juga: Berpotensi Ganggu Penampilan Anda, 8 Hal Ini Jadi Penyebab Munculnya Uban Pada Usia Muda 

Wanita yang lahir di Nglundo pada 10 April 1969 ini bekerja di PT Catur Putra Jaya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

Pada awal 1993, Gubernuh KDH TKI Jawa Timur mengeluarkan Surat Edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi imbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya.

Surat edaran tersebut dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20 persen gaji pokok karyawan. Imbauan tersebut disambut dengan senang hati oleh para karyawan.

Namun, pengusaha menilai jika hal tersebut diterapkan maka artinya beban pengeluaran perusahaan bertambah.

Baca Juga: Jawab Tudingan Hoaks, Jokowi Pastikan Upah per Satuan Waktu dan Penghapusan UMR Tidak Benar 

Pada pertengahan April 1993, karyawan PT CPS membahas surat edaran tersebut dengan resah, akhinya para karyawan tersebut memutuskan untuk melakukan unjuk rasa pada 3 Mei 1993.

Unjuk rasa tersebut bertujuan menuntut kenaikan upah dari Rp1.700 menjadi Rp2.250.

Marsinah terlibat dalam rapat membahas rencana unjuk rasa pada 2 Mei 1993 di Tanggulangin, Sidoarjo.

Selain itu, pada 3 Mei 1993 para buruh tersebut mencegah teman-teman sejawatnya untuk bekerja.

Sementara Komandan Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh tersebut.

Baca Juga: Luhut Bongkar Sosok Pencetus Omnibus Law di Indonesia, Disebut-sebut 'Menteri Semua Zaman' 

Pada 4 Mei 1993, para buruh mogok kerja secara total dan mereka mengajukan 12 tuntutan.

Pada 5 Mei 1993, Marsinah menjadi salah seorang dari 15 karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan dan asih aktif dalam kegiatan perundingan terkait unjuk rasa.

Di hari yang sama, 5 Mei 1993, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Kodim Sidoarjo, mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS.

“Aku akan menuntut Kodim dengan bantuan saudaraku (bekerja di Kejaksaan) yang ada di Surabaya,” kata Marsinah.

Berdasarkan kejadian tersebut, Marsinah sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan ke-13 rekannya tersebut.

Baca Juga: Bikin Geger, Warganet Temukan Mayat Corona Tergeletak di Tengah Jalan Pada Siang Bolong 

Namun, sekira pukul 22.00 WIB pada hari yang sama, Marsinah dinyatakan hilang tiga hari.

Pada 8 Mei 1993, diusianya yang memasuki 24 tahun, jenazah Marsinah ditemukan di hutan di dusun Jegong, desa Wilangan dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.

Kepala Bagian Forensik RSUD Dr Soetomo Surabaya, Haroen Atmodirono dan pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk menyimpulkan bahwa Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.

Hasil visum et repertum menunjukkan adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 cm dalam tubuh Marsinah.

Luka tersebut menjalar dari dinding kiri lubang kemaluan (labium minora) sampai ke dalam rongga perut.

Baca Juga: UU Ciptaker Permudah Izin Nelayan Melaut, KKP: Tidak Ragu Lagi Menangkap Ikan di Lautan 

Di dalam tubuhnya, ditemukan serpihan tulang dan tulang panggul bagian depan hancur juga selaput dara Marsinah robek.

Selain itu, kandung kencing dan usus bagian bawahnya memar, rongga perutnya mengalami pendarahan kurang lebih satu liter.

Kasus tersebut menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang dikenal sebagai kasus 1773.

Sementara, Marsinah dinilai sebagai pahlawan buruh yang telah memperjuangkan hak-hak buruh. Ia memperoleh penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama.***

Editor: M Bayu Pratama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah