Setahun Jokowi-Ma'ruf, KontraS: Selain Resesi Ekonomi, Indonesia Juga Terancam Resesi Demokrasi

- 20 Oktober 2020, 09:44 WIB
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. /YouTube

“Pandemi COVID-19 juga dijadikan alasan untuk memberangus ruang sipil, diantaranya melalui pembubaran aksi, dalam banyak peristiwa secara represif, yang menunjukan bahwa Negara telah gagal dalam menyediakan akses yang efektif bagi masyarakat untuk mengkomunikasikan aspirasinya,” katanya.

Penanganan pandemi COVID-19 pun tidak lepas dari pemenuhan dan perlindungan HAM yang tidak maksimal, bahkan dalam beberapa peristiwa dijadikan dalih untuk melanggar HAM, seperti kriminalisasi terhadap pengkritik sampai penghukuman tidak manusiawi terhadap pelanggar protokol kesehatan.

Baca Juga: Mahfud MD Soal Demo BEM SI Hari Ini: Tak Harus Minta Izin, Menyampaikan Aspirasi Dijamin Konstitusi

“Dari segi perlindungan terhadap pembela HAM, dalam satu tahun terakhir KontraS menemukan pola yang terus berulang, yakni berlarutnya proses hukum terhadap pelaku penyerangan terhadap pembela HAM. Hal ini dapat dilihat dalam penanganan kasus Novel Baswedan, Golfrid Siregar, dan Ravio Patra,” katanya.

Kemudian dalam aspek budaya kekerasan, KontraS menemukan bahwa tingginya angka kekerasan yang muncul setiap tahunnya dari lembaga pertahanan dan keamanan tidak pernah disambut dengan wacana mengenai reformasi kelembagaan untuk mengurangi peristiwa kekerasan.

Akan tetapi disikapi dengan justru memperluas tugas, fungsi, dan pengaruh Polri dan TNI.

Baca Juga: Kritik Pernyataan Marissa Haque, Dewi Tanjung: Apa Hubungannya Omnibus Law dengan Surga?

Terakhir, tidak diinternalisasinya nilai-nilai demokrasi dalam tata kelola pemerintahan terlihat jelas dalam proses legislasi yang alih-alih menjadi wadah penampung aspirasi publik, justru dijadikan metode untuk memuluskan ambisi investasi Pemerintah.

Hal tersebut terlihat jelas dalam pengesahan UU Minerba dan UU Cipta Kerja dalam suasana pandemi dan dengan pertisipasi publik yang sangat minim dan tidak substansial.

“Fenomena ini menegaskan pemaknaan negara atas demokrasi yang tidak lebih jauh dari momentum pencoblosan setiap lima tahun tanpa ada upaya untuk melibatkan publik secara lebih substansial dalam tata kelola pemerintahan untuk menjamin akuntabilitas serta terjaminnya kepentingan umum,” tuturnya.***

Halaman:

Editor: Puji Fauziah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x