Pemerintah memang telah memiliki pengalaman yang mumpuni dalam mengelola utang luar negeri, tetapi Indonesia harus tetap memiliki kehati-hatian dan transparansi di dalam pengelolaan utang tersebut.
"Sudah puluhan tahun Indonesia berstatus sebagai debitur pada sejumlah lembaga keuangan multilateral, seperti Bank Dunia, International Monetary Fund atau IMF, dan Bank Pembangunan Asia," tutur Bamsoet.
Baca Juga: Geruduk Balai Kota, Pekerja Ambulans Tuntut Anies Baswedan Penuhi Kebutuhan APD Layak Pakai
Dia menambahkan bahwa masyarakat juga perlu didorong agar tidak terpaku pada jumlah atau angka-angka utang luar negeri.
Menurut pria yang akrab disapa Bamsoet tersebut, jauh lebih penting bagi masyarakat adalah menyoal atau mempertanyakan pemanfaatan utang luar negeri itu sendiri.
Bambang Soesatyo menilai bahwa pembiayaan pembangunan bangsa dengan utang, bukanlah sebuah aib. Karena pendekatan yang sama juga dilakukan banyak negara, termasuk negara-negara kaya.
Baca Juga: Pengemudi Ojol di Pondok Gede Tewas Gantung Diri, Polisi Duga Penyebabnya Depresi
"Eropa yang hancur akibat perang dunia II, kembali dibangun dengan hibah dan utang. Korea Selatan dan Jepang juga membiayai pembangunan infrastruktur dengan utang," tuturnya.
Bambang Soesatyo menuturkan bahwa belum lama ini, Bank Dunia merilis statistik utang internasional (International Debt Statistics/IDS).
IDS dari Bank Dunia itu menyebutkan bahwa Indonesia berada di posisi tujuh, dari dagtar 10 negara berpendapatan kecil-menengah dengan utang luar negeri terbesar.