Sengketa Laut China Selatan Kian Memanas, Negara ASEAN 'Dibungkam' oleh Bantuan dari Tiongkok

- 14 Agustus 2020, 19:50 WIB
Ilustrasi Armada Laut Tiongkok dan AS di perbatasan Laut China Selatan.
Ilustrasi Armada Laut Tiongkok dan AS di perbatasan Laut China Selatan. /AFP

PR BEKASI - Ketegangan di Laut China Selatan (LCS) belum mereda. Bahkan semakin memanas karena Amerika Serikat kian meningkatkan patroli kapal-kapal militer di kawasan tersebut.

Hal tersebut dilakukan Amerika Serikat karena Tiongkok dikabarkan terus melakukan latihan militer dan pembangunan di pulau-pulau reklamasi di LCS di tengah pandemi COVID-19 yang melanda dunia.

Amerika Serikat pun secara tegas menolak klaim Tiongkok atas LCS.

Beijing pun secara rutin menjabarkan ruang lingkup klaim kepemilikan LCS berdasarkan sembilan garis putus-putus (Nine Dash Line /NDL).

Baca Juga: Lagi dan lagi, Poyek Kereta Cepat Jadi Dalang Banjir Setinggi Lutut di Tambun Selatan 

Sembilan garis putus-putus adalah wilayah historis LCS seluas 2 juta kilometer persegi dan membentang 2.000 kilometer dari daratan Tiongkok

Tiongkok mengklaim 90 persen dari LCS yang berpotensi kaya akan sumber daya energi.

Namun Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam juga mempunyai hak atas bagian dari LCS.

Dilansir Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara, Jumat, 14 Agustus 2020, menurut pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran (Unpad) Teuku Rezasyah mengatakan bahwa Tiongkok mengetahui sepenuhnya jika keputusan hukum yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Arbitrase di Den Haag jelas-jelas menolak klaim Tiongkok untuk menguasai LCS walaupun Tiongkok sudah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.

Baca Juga: Pengumuman SBMPTN 2020 Digelar Jumat 14 Agustus 2020 Pukul 15.00 WIB, Berikut Link Mirror Alternatif 

Tapi Tiongkok maklum, jika negara-negara ASEAN tidak ada yang berani menurunkan aturan tersebut dalam hukum nasional mereka dan dalam hubungan diplomatik mereka di tingkat global.

Penamaan LCS itu sendiri tidak dibuat oleh Tiongkok. Namun telah lama berlaku di kalangan masyarakat internasional.

Bagi Tiongkok lanjut Teuku, ini adalah pengakuan mereka atas hak tradisional Tiongkok yang telah ada selama ratusan tahun untuk mengambil manfaat ekonomi yang merupakan warisan dunia.

Sosialisasi Nine Dash Line (NDL) tetap akan dilakukan walaupun menghadapi nota diplomatik dari negara-negara ASEAN.

Baca Juga: Peran MUI Soal Fatwa Halal Dipangkas, DPR: RUU Ciptaker Jangan Dipaksakan Dibahas 

Tiongkok sudah mengetahui secara pasti, jika sepanjang masih ada anggota ASEAN yang tergantung pada bantuan ekonomi Tiongkok maka suara ASEAN tidak akan pernah bulat dan mengikat.

Pemaksaan atas sembilan garis putus-putus akan terus dipraktikkan secara militer dan ekonomi di lokasi LCS, serta jalur diplomatik dan ilmu pengetahuan di berbagai forum internasional, guna mencegah eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan tanpa sepersetujuan Tiongkok.

Karena Tiongkok yakin jika kekuatan militernya sudah setara dengan Amerika Serikat dan Rusia, maka koalisi militer ASEAN dengan kekuatan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya hanya akan menjadi 'macan kertas' dan tidak akan pernah berfungsi.

Baca Juga: Lagi dan lagi, Poyek Kereta Cepat Jadi Dalang Banjir Setinggi Lutut di Tambun Selatan 

Tiongkok telah memiliki data yang spesifik atas seluruh kandungan energi, minyak, dan gas yang ada di LCS. Oleh karena itu, Tiongkok akan senantiasa menentang pergerakan kapal asing yang akan melakukan penelitian dan eksplorasi di LCS.

Tiongkok sedang berupaya membangun sebuah norma internasional yang baru, yakni otomatis menolak segala bentuk latihan militer negara-negara ASEAN dengan negara di luar ASEAN di bagian wilayah LCS manapun.

Tiongkok menolak penamaan Laut Natuna Utara (LNU) oleh Indonesia dan mengharamkan LNU menjadi nama yang digunakan oleh siapa pun dalam berkegiatan militer dan bukan militer di LCS.

Baca Juga: Rekayasa Lalu Lintas di Jalan Pangeran Jayakarta Bekasi Dimulai Besok, Perhatikan Jembatan 

Tiongkok akan secara khusus memonitor perkuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI), terutama sekali di Natuna dan pulau-pulau terdepan Indonesia lainnya, mengingat sudah tingginya perlawanan Indonesia secara cepat, tepat, dan akurat di zona ekonomi eksklusif (ZEE) atas pergerakan kapal nelayan Tiongkok.

Dikhawatirkan hal ini akan meningkatkan rasa percaya diri Vietnam, Filipina, dan Malaysia untuk berkoordinasi dengan Indonesia.

Tiongkok mengkhawatirkan keterlibatan Jepang dan Korea Selatan dalam berbagai proyek infrastruktur diberbagai pulau terdepan Indonesia. Karena keadaan ini memungkinkan keduanya menggunakan Teknologi 6G Yang telah mereka kuasai untuk memonitor seluruh pergerakan Tiongkok di LCS.

Baca Juga: Viral, Aksi Pelecehan Seksual Begal Payudara Perempuan Saat Bersama Bayinya Terekam Kamera CCTV 

Penghormatan aturan internasional

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan pentingnya ASEAN untuk menunjukkan soliditas mengenai penghormatan terhadap aturan internasional termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.

Penghormatan terhadap prinsip-prinsip hukum internasional termasuk UNCLOS 1982 adalah kunci yang harus ditegakan oleh semua pihak untuk menanggapi perkembangan di wilayah LCS.

Dalam pertemuan bilateral virtual dengan Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi, Retno Marsudi meminta Tiongkok sebagai negara yang mengaksesi Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama/Treaty of Amity and Cooperation (TAC) untuk mematuhi tata perilaku hubungan dengan negara-negara Asia Tenggara dalam penyelesaian konflik terkait LCS.

Baca Juga: Didemo Ratusan Orang Soal Omnibus Law, Puan Maharani: RUU Cipta Kerja Dibahasa Sangat Hati-Hati 

TAC telah diaksesi banyak negara termasuk Tiongkok, Amerika Serikat, India, Australia, Jepang, dan Korea Selatan. Menjadi kewajiban negara yang melakukan aksesi untuk terus menghormati prinsip-prinsip TAC tersebut, ujar dia.

Retno Marsudi juga menekankan dialog selalu menjadi cara terbaik untuk menyelesaikan konflik.

Ia menegaskan bahwa prinsip Indonesia selalu konsisten dalam menyikapi perebutan wilayah dan kekuasaan di LCS, yaitu dengan menghormati hukum internasional.

Indonesia memandang perdamaian dan stabilitas di kawasan LCS hanya dapat dipelihara jika semua negara menghormati dan mengimplementasikan semua hukum internasional yang terkait, termasuk UNCLOS 1982.

Baca Juga: Pakar Bahasa Tubuh Bongkar Ekspresi Jokowi ketika Berpidato: Ada yang Tidak Sinkron 

Retno mengajak semua pihak untuk terus mengedepankan kerja sama dan kolaborasi, bukannya rivalitas yang merugikan.

Di samping itu, Perundingan code of conduct (COC) mengenai konflik LCS harus tetap dilanjutkan meskipun dunia dilanda pandemi COVID-19.

Hal itu harus dilakukan agar ditemukan jalan tengah demi menggapai stabilitas dan perdamaian di LCS.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein mengatakan bahwa Malaysia ingin menyelesaikan konflik di LCS melalui negosiasi diplomatik agar tidak terjebak dalam pertarungan antara negara-negara adidaya.

Baca Juga: Megawati Soekarnoputri raih penghargaan dari Jokowi, PDIP: Kami Bangga atas Jasa dan Prestasi Beliau 

Malaysia, lanjut dia, tidak menginginkan bentrokan militer antara pihak-pihak yang bersengketa terjadi di kawasan LCS.

Hishammuddin menggarisbawahi pentingnya ASEAN untuk bersatu dalam menghadapi kekuatan negara-negara besar di wilayah disengketakan itu.

Bersatunya ASEAN akan menjadi kekuatan dan sinergi yang efektif dalam mencari penyelesaian konflik di LCS.

Ia mengingatkan bahwa terdapat klaim tumpang tindih dengan sesama negara ASEAN di LCS.

Baca Juga: Tepis Isu Adanya Koalisi dengan Jokowi, PAN: Dukung Gibran Rakabuming karena Layak Dicalonkan! 

Klaim tumpang tindih itu jangan sampai membuat ASEAN pecah.

Pasalnya, peluang terbaik untuk menyelesaikan masalah LCS yaitu dengan solidaritas ASEAN yang kuat sebagai satu blok.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: Permenpan RB


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x