Penolakan Omnibus Law di Malioboro, ARB: Kami Mengutuk Keras Tindakan Represif Terhadap Massa Aksi

10 Oktober 2020, 08:54 WIB
Aksi unjuk rasa di Malioboro, Yogyakarta. / ANTARA/Hendra Nurdiyansyah/

PR BEKASI – Tim Hukum Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) mengutuk keras tindakan represif aparat kepolisian terhadap sebagian massa aksi penolakan Omnibus Law di kawasan Malioboro, Yogyakarta.

Ristu dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia (PBHI), menjadikan hal ini sebagai catatan kritis bagaimana negara hari ini, memperlakukan rakyat ketika bereaksi atas langkah DPR mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja.

Menurutnya, tindak kekerasan fisik terhadap pelajar dan mahasiswa yang menyampaikan aspirasi, sangat tidak dibenarkan.

Baca Juga: Terima Ancaman dari Pendukung Puan Maharani, Nikita Mirzani: Sini, Lawan Gue Satu Persatu

"Saya ada di lokasi saat peristiwa itu terjadi, banyak sekali massa aksi yang ditangkap semena-mena, dipukuli pake tongkat, ditendang, diseret, kena gas air mata, sampai banyak korban luka dirawat di rumah sakit," tuturnya, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari RRI, Sabtu, 10 Oktober 2020.

Menurutnya, insiden tersebut menjadi sebuah keprihatinan dan juga sebuah ironi, ketika rakyat hendak menyampaikan pendapat mereka.

Untuk diketahui, aksi penolakan Omnibus Law tidak hanya di Yogyakarta, tetapi juga terjadi di berbagai kota lain di Indonesia.

Baca Juga: Angka Mortalitas hingga 80 Persen, Doni Monardo: Penanganan harus Cepat pada Pasien dengan Komorbid

"Kami dari tim hukum ARB mengutuk keras tindakan aparat keamanan yang represif terhadap massa aksi, (kami) meminta kepada polisi agar membebaskan massa aksi yang di tangkap," ujar Ristu.

Dia juga mempersoalkan sikap polisi yang menghalangi Tim Hukum untuk bertemu dengan korban yang ditangkap, dengan alasan karena masih berlangsung proses pemeriksaan.

Padahal, kata dia, penangkapan berlangsung sejak sore hari, bahkan hingga pukul 3.30 WIB para korban penangkapan belum bisa ditemui oleh penasehat hukum dan keluarga.

Baca Juga: Dinilai Hanya Berikan Pidato Retoris, Palestina Kecam Kegagalan Dunia dalam Menghentikan Israel

Dalam hal ini, lanjut dia, polisi melanggar ketentuan Perundang-undangan yang ada, dan telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Jika sedang diperiksa, mestinya hukum acara pidana diberlakukan. Setiap orang yang diperiksa wajib didampingi penasehat hukum, ini sudah diatur dalam Pasal 45 KUHAP," tutur Yogi Zul Fadli selaku Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.

Terkait hal tersebut, protes keras disampaikan kepada kepolisian, karena dianggap tidak menghormati profesi advokat yang dilindungi Undang-Undang, menurutnya.

Baca Juga: Tak Ingin Muncul 'Freeport' Baru, Amien Rais: Semoga Jokowi Cs Tidak Tuli, Bisu, dan Buta

Bahkan Korps Bhayangkara Tersebut, kata dia, juga menyalahkan kenapa harus mengikuti aksi.

"Ya kami balas, ini kan hak konstitusional warga negara untuk bebas menyampaikan pendapat, sehingga tidak boleh dihalang-halangi," tutur Yogi Zul Fadli.

Sesuai laporan pengaduan yang masuk, ada 51 orang yang ditangkap polisi dalam insiden bentrokan saat berlangsung aksi Tolak Omnibus Law di Malioboro.

Baca Juga: Bongkar Kasus 3 Kasus Narkoba, Polresta Bandara Soetta Amankan Narkoba Senilai Rp12 Miliar

Namun, setelah diperiksa ke polisi, Tim Hukum ARB memastikan hanya 41 orang yang kini masih berada di Polresta Yogyakarta.

Menanggapi hal tersebut, pihak kepolisian mengklaim bahwa hal tersebut telah sesuai prosedur, dipicu massa yang cenderung anarkis dan merusak berbagai fasilitas publik.

Terkait dugaan salah tangkap orang, Kabid Humas Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Kombes Yulianto memastikan bahwa saat ini masih melakukan pendalaman kasus, agar tidak salah dalam mengambil keputusan.

Baca Juga: Jokowi Tahu Kontroversi UU Cipta Kerja, Putri Gus Dur: Kenap Tidak Minta DPR Tunda Pengesahan?

"Kalau ada bukti permulaan yang cukup, akan kita tindak tegas. Untuk yang membakar, merusak, sedang didalami melalui bukti video, cctv, dan lain-lain," tuturnya.

Kombes Yulianto juga berdalih, langkah preventif untuk mencegah bentrok gagal dilakukan, sehingga tindakan tegas waktu itu harus dilakukan untuk mencegah kerusakan lebih parah.

"Kami sudah maksimal mencegah (ricuh) itu, tapi karena memang tidak bisa ya apa boleh buat, karena massa anarkis terpaksa ada gas air mata," ujarnya.

Baca Juga: Jokowi Tahu Kontroversi UU Cipta Kerja, Putri Gus Dur: Kenap Tidak Minta DPR Tunda Pengesahan?

Mengenai sorotan negatif atas aksi kekerasan yang dilakukan polisi terhadap para pendemo, Yulianto berdalih hal tersebut akibat adanya provokasi yang mengharuskan aparat di lapangan mengambil tindakan.

"Prinsipnya, unjuk rasa itu berjalan tertib dan damai, tidak mungkin polisi melakukan kekerasan tanpa sebab." ucapnya.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler