Bukan Hanya Relasi Ketenagakerjaan, Baleg DPR Paparkan UU Cipta Kerja Jauh Lebih Luas daripada Itu

- 10 Oktober 2020, 12:14 WIB
Ilustrasi penolakan omnibus law RUU Cipta Kerja.
Ilustrasi penolakan omnibus law RUU Cipta Kerja. /ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah

PR BEKASI – Undang-Undang Cipta Kerja diyakini memiliki manfaat terhadap berbagai aspek terkait perekonomian nasional secara keseluruhan.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengatakan, UU Ciptaker merupakan regulasi yang jauh lebih luas dari persoalan ketenagakerjaan.

"UU Cipta Kerja bukanlah soal itu semata. Ia bahkan bicara soal kemudahan orang berusaha, dan membuka lapangan kerja di Tanah Air," ujarnya, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara, Sabtu, 10 Oktober 2020.

Baca Juga: Jangan Langsung Dibuang! Ampas Kopi Ternyata Punya Khasiat bagi Tubuh

"UU ini juga bicara soal petani, masyarakat adat, UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), koperasi, hingga digitalisasi siaran," ucap Willy Aditya melanjutkan.

Menurutnya, semua hal tersebut seolah luput dari perhatian banyak kalangan, tertelan isu relasi ketenagakerjaan.

Willy Aditya menyoroti besarnya gelombang penolakan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja di berbagai daerah, sebagai bagian dari dinamika bernegara dan berdemokrasi, karena menyampaikan aspirasi adalah hal yang biasa.

Baca Juga: Manjaga Pola Hidup Sehat Ternyata Bisa Cegah Terjadinya Diabetes

"Kenyataan tersebut justru menunjukkan terjaminnya hak konstitusional warga. Namun, narasi yang mencolok dari serangkaian gelombang aksi yang berlangsung sehari setelah disahkan, berlokus pada soal-soal relasi ketenagakerjaan dengan pengusaha," tuturnya.

Willy Aditya mengakui bahwa UU Cipta Kerja telah memberikan dukungan terhadap kemudahan berusaha dan investasi.

Serta dengan adanya Online Single Submission (OSS) sebagai upaya untuk meringkas dan mempercepat proses perizinan, mengingat perizinan berusaha selalu berbasis risiko.

Baca Juga: Ungkap Cara Jaga Pertemanan Saat Pandemi, Ardhito Pramono: Setiap Orang Mau Diberi Perhatian

Dia berpendapat bahwa persoalan tumpang-tindih perarutan, pungutan liar (pungli), pemerasan, politisasi perizinan, dan berbagai masalah dalam hal perizinan, diharapkan bisa hilang dengan pengaturan demikian.

Namun, UU Cipta Kerja memastikan bahwa investasi tidak hanya dinikmati usaha-usaha besar, tetapi juga UMKM dan koperasi, demikian halnya dengan kemudahan usaha bagi setor riil, dan sektor kerakyatan.

"Dalam persoalan agraria, UU Cipta Kerja juga telah menghilangkan ancaman pidana bagi masyarakat yang tinggal turun temurun dalam kawasan hutan, dan beberapa ketentuan yang hak masyarakat adat," ujarnya.

Baca Juga: Cek Fakta: Beredar Kabar Rumah Puan Maharani Dibakar Demonstran dalam Unjuk Rasa Omnibus Law

Dengan demikian, klausal tersebut setidaknya meminimalisir konflik agraria dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, yang kerap terjadi di banyak wilayah.

Willy Aditya menambahkan, di sektor teknologi informasi, terus tertundanya digitalisasi siaran di Tanah Air, membuat penikmat terhadap digital divider terus tertunda.

Pengembangan usaha digital dari sisi konten ataupun penyelenggara siaran terhambat.

Baca Juga: Diduga Cemburu kepada Tamu Undangan, Pengantin Pria Ini Hajar Istrinya Sesaat Usai Ijab Kabul

"Kabar baik pun datang. UU Ciptaker telah memastikan Analog Switch Off (ASO) segera dilakukan, paling lambat dua tahun setelah UU ini diundangkan,” tutur Willy Aditya.

Adapun terkait dengan isu paling sensitif, yakni ketenagakerjaan, dia menyatakan bahwa pasal, misalnya mengenai hak cuti haid, menikah, melahirkan, keguguran, berhasil dipertahankan sesuai UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003.

Demikian juga ketentuan tentang penggunaan tenaga kerja asing, untuk melindungi tenaga kerja Indonesia.

Baca Juga: Korban Kasus Penembakan Anggota TGPF di Intan Jaya Telah Dievakuasi ke Jakarta

Selain itu, sanksi ketenagakerjaan, upah minimum padat karya, dan penyesuaian aturan tenaga alih daya sesuai putusan Mahkamah Konstitusi.

Willy Aditya menyatakan dengan sangat menyesal, ketentuan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 berkenaan dengan jumlah pesangon tidak dapat dipertahankaan.

Pemerintah meminta agar ketentuan 32 kali, diubah menjadi 25 kali dan memperoleh dukungan argumentasi dari fraksi lainnya.

Baca Juga: Kasus Dugaan Oknum Polisi Aniaya Wartawan saat Liput Demonstrasi, PWI Minta Kapolri Usut Tuntas

Demikian juga dengan upah minimum sektoral, yang harus menyesuaikan dengan kondisi yang terjadi saat ini, dinilai menghambat investasi dan usaha.

Menurut Willy Aditya, sejak mula pembahasan DPR RI mengundang bukan hanya ahli atau pakar dalam setiap proses pembahasan, melainkan beragam organisasi masyarakat sipil dengan konsentrasi advokasi yang spesifik pun turut diundang.

Organisasi seperti serikat pekerja, serikat profesi, dan organisasi sejenis pun turut dilibatkan.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah