Beredar Surat Telegram Polri Cegah Mogok Nasional, YLBHI: Patuhi UUD 45 Soal Hak Berpendapat

- 6 Oktober 2020, 12:26 WIB
Ilustrasi Buruh yang menggelar mogok kerja nasional. /Situs resmi KSPI
Ilustrasi Buruh yang menggelar mogok kerja nasional. /Situs resmi KSPI /

 

PR BEKASI - Setelah beredar surat telegram di media sosial yang mulai tersebar sejak Senin, 5 Oktober 2020 kemarin terkait larangan dan pencegahan yang dilakukan polisi, hal itu menuai polemik bagi sebagian masyarakat.

Surat yang tertulis dari Kapolri kepada Para Kapolda dengan Nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020 dibuat sehubungan dengan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dengan kondisi masih banyaknya penolakan beberapa elemen buruh dan masyarakat serta isu unjuk rasa dan mogok kerja yang berdampak pada kesehatan, ekonomi, moral, dan hukum.

Karena itu, polisi melakukan antisipasi unjuk rasa dan mogok kerja buruh pada tanggal 6-8 Oktober terkait RUU Omnibus Law di tengah pandemi dalam rangka menjaga situasi tetap aman dan tertib dengan penerapan yang telah ditulis dalam surat telegram.

Baca Juga: Kebut Rapat Paripurna Sahkan UU Ciptaker, Syarief Hasan: Aspirasi Rakyat Kecil Tidak Didengar DPR

Terhadap isi surat telegram tersebut, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memberi tanggapan pada beberapa poin langkah yang dianggap bertentangan.

Dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari situs YLBHI Selasa, 6 Oktober 2020, beberapa bagian yang menjadi sorotan dalam isi surat sebagai berikut;

Pada bagian 1, terkait pelaksanaan 'giat fungsi intelijen dan deteksi dini serta deteksi aksi terhadap elemen buruh dan masyarakat guna mencegah terjadinya aksi unras dan mogok kerja yang dapat menimbulkan aksi anarkis dan konflik sosial'.

Baca Juga: UU Cipta Kerja Sah! Buruh Bekasi Memanas, Polisi dan TNI Kerahkan Kekuatan Penuh Amankan Massa

YLBHI mengatakan polisi tidak memiliki hak untuk mencegah unjuk rasa, sebaliknya menurut Pasal 13 UU 9/1998 perihal pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum.

YLBHI melanjutkan, Polri bertanggung jawab memberi perlindungan keamanan terhadap peserta yang melakukan penyampaian pendapat di muka umum.

Pada Bagian 3, terkait perintah 'cegah, redam dan alihkan aksi' unjuk rasa buruh atau elemen lain untuk mencegah penyebaran COVID-19.

Baca Juga: Serupa tapi Tak Sama, Aksi Walk Out juga Pernah Dilakukan Fraksi PDIP pada Zaman Pemerintahan SBY

YLBHI mengatakan, hal tersebut merupakan upaya diskriminatif karena menyasar peserta aksi, padahal sebaliknya dua aksi tolak Omnibus law sebelumnya tidak terbukti menimbulkan klaster baru COVID-19.

Pada Bagian 5, 'lakukan cyber patrol pada medsos dan manajemen media untuk bangun opini publik yang tidak setuju dengan aksi unras di tengah pandemi covid-19'.

YLBHI menyebut poin ini merupakan penyalahgunaan wewenang, sebab polisi tidak memiliki kewenangan untuk mencegah aksi. 

Baca Juga: Pengesahan UU Cipta Kerja di Tengah Pandemi Covid-19, FPD: Sangat Tidak Bijak

Menurut Pasal 30 UUD 1945 & amandemennya, tugas kepolisian menjaga ketertiban, bukan kampanye terhadap pemerintah.

Hal ini menjadi masalah menurut YLBHI akan menghambat kritik publik yang dalam demokrasi justru bermanfaat dalam kehidupan bernegara sebagai bentuk kontrol kekuasaan.

Pada bagian 7, 'secara tegas tidak memberikan izin kegiatan baik unjuk rasa maupun izin keramaian lainnya', dan pada bagian 8, 'upaya harus dilakukan di hulu (titik awal sebelum kumpul) dan lakukan pengamanan (PAM) terbuka dan tertutup'.

Baca Juga: Naikkan Tagar di Trending Twitter hingga Buat Petisi, Warganet: DPR RI Khianati Rakyat

YLBHI menilainya merupakan bentuk diskriminatif dan melanggar amandemen UUD 1945.

Pada bagian 10, terkait akan melakukan penegakkan hukum terhadap pelanggar hukum dengan UU kekarantinaan kesehatan.

YLBHI menilai kemungkinannya yang dimaksud tercantum pada Pasal 93 dengan inti yang berbunyi, setiap orang yang melanggar penyelenggaraan karantina kesehatan atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dapat dipidana.

Baca Juga: Mars Akan Berada dalam Jarak Terdekat dengan Bumi pada Minggu Ini

Atas dasar tersebut YLBHI mengungkapkan pasal 93 tersebut baru berlaku saat terjadi akibat dan tidak mungkin diketahui pada saat aksi apalagi sebelum aksi.
 
Selain itu YLBHI juga menilai penindakan pasal 93 UU selama ini tidak pernah dilakukan oleh Polri seperti terjadinya kluster perkantoran dan tidak ada tindakan terhadap pengusaha atau pejabat yang memerintahkan pegawai untuk tetap bekerja.

Karena itu YLBHI dalam pesannya mengingatkan agar Kapolri patuh pada UUD 1945 & amandemennya serta UU 9/1998 yang menjamin hak setiap orang dalam menyampaikan pendapat.

Baca Juga: Muak dengan Negara Korup, Cheran Jadi Kota Bebas Politik Usai Usir Partai Politik dan Polisi

Selain itu, YLBHI juga mendesak Presiden sebagai pimpinan langsung Kapolri untuk menjamin netralitas dan independensi yang seharusnya diterapkan Polri.***

Editor: Puji Fauziah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah