"Mekanismenya normal, PPN dipungut di tiap mata rantai dengan PPN yang dibayar dapat dikurangkan, yang disetor selisihnya," sambungnya.
Namun menurutnya, timbul permasalahan di lapangan, khususnya di distributor dan pengecer sebagai bagian mata rantai, terutama yang skala menengah-kecil kesulitan menjalankan kewajiban karena secara administrasi belum mampu.
Baca Juga: Salut Teddy Relakan Hak Warisnya, Pengacara: Padahal Kalau Dihitung, Dia Dapat Banyak Loh
Akibatnya, terjadi perselisihan di lapangan dengan Kantor Pajak, sehingga ada imbauan dan pemeriksaan pajak.
"Dispute di lapangan tak terhindarkan dan timbul ketidakpastian. Kadang ketetapan pajak yang besar sangat memberatkan distributor/pengecer. Tapi petugas pajak tak keliru ketika ada objek ya ditagih. Jika dibiarkan, ada kerugian di kedua pihak. Maka ini dimitigasi @DitjenPajakRI," tutur Yustinus Prastowo.
Dari permasalahan itu, maka terbitlah PMK 6/2021, yang intinya memberi kepastian status pulsa sebagai Barang Kena Pajak agar seragam karena kadang dipahami sebagai jasa.
Lalu pemungutan disederhanakan hanya sampai dengan Distributor besar, sehingga meringankan distributor biasa dan para pengecer pulsa.
"Jadi mestinya kebijakan ini disambut baik. PPN atas pulsa (jasa telekomunikasi) memang sudah lama terutang dan tak berubah, pedagang dipermudah, konsumen tidak dibebani pajak tambahan," kata Yustinus Prastowo.
Jadi mustinya kebijakan ini disambut baik. PPN atas pulsa (jasa telekomunikasi) memang sdh lama terutang dan tak berubah, pedagang dipermudah, konsumen tdk dibebani pajak tambahan. Tapi kan ada PPh Pasal 22 0,5%? Bagaimana ini? Nah, sedikit saya jelaskan.— Prastowo Yustinus (@prastow) January 30, 2021
Sementara itu, terkait Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5 persen, besarannya hanya Rp500 dari voucer pulsa Rp100.000.