Aturan Pajak Pulsa Tak Perlu Jadi Polemik, Stafsus Menkeu: Ini Hal Biasa, Bahkan Untungkan Publik dan Negara

- 30 Januari 2021, 16:02 WIB
Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo.
Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo. /Instagram.com/@prastowoyustinus/

"Mekanismenya normal, PPN dipungut di tiap mata rantai dengan PPN yang dibayar dapat dikurangkan, yang disetor selisihnya," sambungnya.

Namun menurutnya, timbul permasalahan di lapangan, khususnya di distributor dan pengecer sebagai bagian mata rantai, terutama yang skala menengah-kecil kesulitan menjalankan kewajiban karena secara administrasi belum mampu.

Baca Juga: Salut Teddy Relakan Hak Warisnya, Pengacara: Padahal Kalau Dihitung, Dia Dapat Banyak Loh

Akibatnya, terjadi perselisihan di lapangan dengan Kantor Pajak, sehingga ada imbauan dan pemeriksaan pajak.

"Dispute di lapangan tak terhindarkan dan timbul ketidakpastian. Kadang ketetapan pajak yang besar sangat memberatkan distributor/pengecer. Tapi petugas pajak tak keliru ketika ada objek ya ditagih. Jika dibiarkan, ada kerugian di kedua pihak. Maka ini dimitigasi @DitjenPajakRI," tutur Yustinus Prastowo.

Dari permasalahan itu, maka terbitlah PMK 6/2021, yang intinya memberi kepastian status pulsa sebagai Barang Kena Pajak agar seragam karena kadang dipahami sebagai jasa.

Baca Juga: Dukung Pelaku Rasisme Diproses Hukum, Wabup Mimika: Perbedaan Tak Boleh Jadi Alasan Mendiskreditkan Sesama

Lalu pemungutan disederhanakan hanya sampai dengan Distributor besar, sehingga meringankan distributor biasa dan para pengecer pulsa.

"Jadi mestinya kebijakan ini disambut baik. PPN atas pulsa (jasa telekomunikasi) memang sudah lama terutang dan tak berubah, pedagang dipermudah, konsumen tidak dibebani pajak tambahan," kata Yustinus Prastowo.

Sementara itu, terkait Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5 persen, besarannya hanya Rp500 dari voucer pulsa Rp100.000.

Halaman:

Editor: Rika Fitrisa


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x