Uni Eropa Hadapi Lonjakan Kebangkrutan dan Gagal Bayar Utang Imbas Pandemi Covid-19

12 Februari 2021, 15:57 WIB
Bendera negara Uni Eropa. /PIXABAY/

PR BEKASI - Uni Eropa dikabarkan tengah menghadapi lonjakan kebangkrutan dan pinjaman macet. Hal tersebut terjadi setelah pemulihan ekonomi pasca-pandemi mulai terjadi.

Selain itu, pemerintah juga mulai menarik skema negara yang membuat banyak perusahaan tetap pada tunjangan hidup.

Informasi tersebut diketahui berdasarkan data dari dokumen Uni Eropa. Selanjutnya, catatan Komisi Eropa, disiapkan untuk pembicaraan para Menteri Keuangan zona euro pada hari Senin, 8 Februari 2021.

Baca Juga: Awas! Ini 6 Gejala Kanker Lambung, Salah Satunya Mirip Sakit Maag

Mereka mengatakan bahwa berkat hampir 2.3 triliun euro atau sekira Rp38.973 triliun dalam langkah-langkah dukungan likuiditas nasional.

Pemerintah zona euro pun sejauh ini telah mencegah kenaikan kebangkrutan.

Tanpa bantuan dan pinjaman baru dari bank, hampir seperempat perusahaan UE akan mengalami masalah likuiditas pada akhir tahun 2020.

Baca Juga: Bisa Pecah Belah Indonesia, KNPI Desak Polisi Tindaklanjuti Kasus Dugaan Rasis Abu Janda

Hal itu terjadi setelah menghabiskan penyangga uang tunai mereka karena malapetaka ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19.

"Setelah langkah-langkah dukungan publik yang belum pernah terjadi sebelumnya berakhir," kata catatan Uni Wropa, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Reuters pada Jumat, 12 Februari 2021.

"Sejumlah bisnis kemungkinan besar akan gagal membayar kewajiban utangnya, yang mengarah ke pinjaman bermasalah dan kebangkrutan yang lebih tinggi," sambungnya.

Baca Juga: UU ITE Diminta untuk Direvisi, Henry Subiakto: Ajukan saja dengan Inisiatif DPR

Dikabarkan bahwa hampir setengah dari semua perusahaan yang akan mengalami masalah likuiditas tahun lalu.

Karena, pandemi Covid-19 sudah berada pada risiko tinggi gagal bayar sebelum krisis. Sementara itu, saat ini bisa bertahan hanya dengan bantuan pemerintah.

Oleh karena itu, mereka cenderung menghadapi masalah kesanggupan membayar utang setelah krisis, kata catatan itu.

Baca Juga: Sempat Viral Tumpukan Sampah 'Raksasa', Pemkab Bekasi Tutup Akses Tempat Pembuangan di Kali CBL

Pembicaraan para menteri pada Senin lalu akan fokus pada bagaimana mengelola proses melepaskan perusahaan dari dukungan negara di masa depan.

Selanjutnya, cara terbaik untuk mengidentifikasi, dengan bantuan investor sektor swasta, perusahaan mana yang layak dan dapat bertahan.

"Ada kesepakatan penuh bahwa dukungan fiskal perlu dipertahankan untuk saat ini, untuk waktu yang cukup lama," kata seorang pejabat senior zona euro yang terlibat dalam persiapan pembicaraan.

Baca Juga: Di Pakistan, Mahkamah Agung Larang Hukuman Mati bagi Tahanan dengan Penyakit Mental

"Tapi ada juga yang mengakui bahwa dukungan mungkin perlu berubah bentuk, bahwa perlu ada transisi bertahap ke dukungan yang lebih bertarget," katanya.

Selanjutnya, catatan Komisi Eropa itu mengatakan bahwa pada kuartal ketiga tahun 2020 lalu.

Disebutkan bahwa pinjaman bank zona euro di bawah moratorium mencapai 587 miliar euro atau Rp 9.946 triliun artinya, sekitar 60 persen adalah pinjaman perusahaan.

Baca Juga: Insentif PPnBM Mobil Diberikan dalam Tiga Tahap Selama 9 Bulan, Ini Harapan Airlangga Hartarto

Pada kuartal kedua, pangsa kredit macet di zona euro terhadap total pinjaman adalah 5.23 persen.

"Secara keseluruhan, volume kredit macet diperkirakan akan meningkat di seluruh UE, meskipun waktu dan besaran kenaikan ini masih belum pasti," kata Komisi.

Untungnya, menurut dia, posisi modal bank yang lebih kuat dibandingkan dengan krisis keuangan satu dekade lalu.

Ia melanjutkan, seharusnya membantu mereka untuk melalui krisis dengan lebih baik kali ini, kata Komisi.

Baca Juga: Novel Baswedan Dipolisikan, Rocky Gerung: Kalau Diproses, Berarti Polisi Abaikan Permintaan Presiden

Yang terkena dampak terburuk adalah hotel dan restoran, di mana tiga perempatnya mengalami masalah likuiditas. Kemudian disusul sektor transportasi, pembuat mobil, logam dasar, dan tekstil.

Selain itu juga layanan komunikasi, makanan dan obat-obatan serta komputer dan elektronik, bertahan jauh lebih baik.

Sementara, masalah likuiditas perusahaan belum tercermin pada rasio kredit yang buruk.

Baca Juga: Studi Terbaru: ASI dari Ibu Penderita Covid-19 Dapat Bentuk Antibodi bagi Bayi untuk Tangkal Virus Corona

"Meskipun jelas bahwa kapasitas pembayaran hutang dari sektor swasta telah terpengaruh oleh pandemi. Jaminan kredit pemerintah dan moratorium pembayaran pinjaman sejauh ini telah mencegah peningkatan gagal bayar pinjaman," katanya, menjelaskan.

Catatan itu juga menyimpulkan kondisi rasio berdasarkan NPL saham.

"Dengan demikian, headline NPL (non-performing loan) rasio - berdasarkan NPL saham yang agak stabil dan penyebut pinjaman yang meningkat - belum mencerminkan kemerosotan yang mendasari profil kredit debitur," kata Komisi.

Baca Juga: Surat Bahar bin Smith untuk Habib Rizieq Beredar Luas: Maafkan Anakmu Tak Bisa Berbuat Apa-apa

Dari hampir 2.3 triliun euro atau Rp38.973 triliun dalam ukuran likuiditas pemerintah di tingkat UE, dan perusahaan

Selanjutnya, rumah tangga telah mengambil sekitar 32 persen dari total, sebagian besar dalam jaminan publik, kata catatan itu.

Untuk tetap berjalan meskipun ada lockdown, perusahaan mengeluarkan cadangan kas dan meminjam uang serta memanfaatkan bantuan pemerintah.

Baca Juga: Cola-cola Cs Luncurkan Kemasan Botol Daur Ulang Usai Dikritik Sebagai Penghasil Limbah Plastik Terbesar

Pinjaman dari bank melonjak paling tinggi di Prancis, Italia dan Spanyol, membalikkan 10 tahun penurunan utang perusahaan kepada bank, kata catatan itu.

Para menteri sekarang harus mencari cara bagaimana menjaga saluran kredit tetap terbuka bagi perusahaan yang layak.

Survei menunjukkan bahwa kebutuhan kredit sudah melebihi ketersediaan di semua negara kawasan euro. Komisi mengatakan bahwa, sementara bank-bank zona euro secara umum kuat menghadapi krisis.

Baca Juga: Yakinkan Masyarakat Tak Ragu Sampaikan Kritik, Moeldoko: Saya Pastikan Tidak Akan Kami Tangkap

Dikaberkan, mereka sekarang percaya bahwa risiko korporasi dan ekonomi secara luas telah meningkat.

"Menurut survei pinjaman Bank ECB, bank berharap untuk lebih memperketat kondisi kredit dan meningkatkan persyaratan agunan." kata Komisi Uni Eropa.****

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: REUTERS

Tags

Terkini

Terpopuler