Rilis Catatan Aktivitas Digital Kepolisian, ICW Soroti Belanja dan Dugaan Pembentukan Opini Publik

9 Oktober 2020, 09:32 WIB
Ilustrasi garis polisi. /PIXABAY/

PR BEKASIIndonesia Corruption Watch (ICW) merilis catatan bertajuk "Aktivitas Digital Kepolisian: Menyoal Belanja Kepolisian dan Dugaan Pembentukan Opini Publik", pada Kamis, 8 Oktober 2020.

Melalui catatan tersebut, ICW menyoroti alokasi anggaran yang diberikan oleh pemerintah ke Kepolisian.

"Sejak era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, alokasi anggaran yang diberikan oleh pemerintah ke Kepolisian mengalami tren peningkatan," tutur peneliti ICW, melalui rilis catatan resmi yang diterima Pikiranrakyat-Bekasi.com.

Baca Juga: Dagang Senjata Api Ilegal, Putra Ayu Azhari Divonis 8 Bulan Penjara

Setidaknya, dari tahun 2015 hingga 2020, total anggaran yang dikelola yakni sebesar Rp531.1 triliun, dan rata-rata per tahunnya, kepolisian mengelola anggaran sekitar Rp106.2 triliun.

"Kepolisian berkewajiban untuk bersikap transparan dan akuntabel dalam setiap belanja yang telah dilaksanakan," ujar peneliti ICW.

Mereka melanjutkan, bahwa pada 2019, tercatat paket belanja barang Kepolisian sebanyak 5.632 paket dengan pagu sebesar Rp17.2 triliun.

Baca Juga: Terbukti Mudahkan Para Investor, 153 Perusahaan Akan Masuk dan Berinvestasi ke RI Berkat Omnibus Law

Kemudian, ICW mengungkapkan bahwa pada 2 Oktober 2020, Kapolri Idham Azis membuat Surat Telegram (STR) yang berisi 12 poin untuk merespons adanya unjuk rasa yang akan dilakukan oleh Kelompok Buruh mengenai penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

Dari STR yang telah dikeluarkan, terdapat dua poin yang dinilai bertentangan dengan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh kepolisian.

"Adanya upaya kepolisian untuk membangun opini publik untuk tidak setuju dengan aksi unjuk rasa, dan kepolisian akan melakukan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah," tutur peneliti ICW.

Baca Juga: Masih Banyak Kejanggalan di Dalam UU Ciptaker, Fadli Zon Minta Jokowi Pikirkan Dikeluarkannya Perpu

Adanya perintah untuk melakukan kontra narasi dan membangun opini publik, merupakan hal yang perlu disoroti di tengah polemik RUU Cipta Kerja (Ciptaker).

"Berdasarkan UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Negara Indonesia, tidak ada satu pun wewenang kepolisian untuk membangun opini publik terhadap aksi ujuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat," ujar peneilit ICW.

Mereka melanjutkan bahwa perintah yang tercantum di dalam STR, menunjukkan bahwa adanya potensi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Kapolri.

Baca Juga: IDI Khawatir Aksi Tolak Omnibus Law Berpotensi Munculkan Klaster Baru dan Picu Lonjakan Covid-19

Adanya rapat antara Kepolisian dengan Menteri Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Oktober 2020 mengenai unjuk rasa penolakan RUU Ciptaker, diduga berkaitan dengan upaya meredam opini publik di media sosial yang tidak sejalan dengan pemerintah.

Omnibus Law telah mendapatkan penolakan besar-besaran selama kurun waktu beberapa bulan ke belakang, regulasi tersebut dinilai bermasalah sejak awal karena pembahasannya menihilkan partisipasi publik.

Padahal di dalam UU Nomor 12 tahun 2012 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diubah dengan UU Nomor 15 tahun 2019, salah satu poin penting dari isu pembahasan kebijakan hukum adalah keterlibatan masyarakat.

Baca Juga: Temui Pendemo yang Rusak Fasilitas di Surabaya, Risma: Setengah Mati Saya Bangun Kota, Kamu Hancurin

"Alih-alih mengakomodir pendapat dari berbagai kelompok masyarakat, pemerintah dan DPR memilih 'jalan pintas' dengan 'memanfaatkan' instrumen aparatur negara yakni kepolisian, dalam membangun opini publik agar setuju dengan Omnibus Law," tutur peneliti ICW.

Mereka pun telah melakukan kajian dan penelusuran informasi terhadap aktivitas digital Kepolisian yang selama ini didanai dari sumber APBN.

Aktivitas yang dipantau dalam kurun waktu tahun 2017 hingga 2020 melalui Sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Polri dengan kata kunci "media sosial", terdapat 9 paket pengadaan barang yang dilakukan oleh kepolisian untuk aktivitas digital.

Baca Juga: BIN Ungkap Sudah Prediksi Akan Terjadi Bentrok antara Aparat Kepolisian dan Massa Aksi

Total anggaran untuk membeli barang dalam kurun waktu tersebut mencapai Rp1.025 triliun, dan per tahunnya kepolisian menggelontorkan anggaran sebesar Rp256 miliar untuk aktivitas digital.

Sejak tahun 2017 hingga 2020, satuan kerja yang paling banyak membeli peralatan untuk aktivitas digital yaitu Badan Intelijen Keamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Baintelkam Polri).

Terdapat 4 paket pengadaan dengan anggaran sebesar Rp483 miliar yang digunakan oleh Baintelkam Polri untuk membeli peralatan yang berkaitan dengan aktivitas digital.

Baca Juga: Terdampak Kerusuhan UU Cipta Kerja, Hari Ini Transjakarta Dipastikan Tetap Beroperasi Normal

Selain belanja Polri untuk pengadaan perangkat yang mendukung aktivitas digital, pada September 2020, LPSE Polri mencatat sejumlah pengadaan barang yang bersumber dari APBNP dan tercatat sebagai "Kebutuhan dan/atau anggaran mendesak".

Pengadaan barang tersebut diduga berkaitan dengan antisipasi aksi massa penolakan UU Ciptaker. Pembelian barang tersebut pun tidak menutup kemungkinan dapat digunakan untuk menjalankan perintah sesuai dengan STR yang dikeluarkan oleh Kapolri.

Pada 2019 lalu saat terjadi penolakan terhadap revisi UU KPK, pola yang dilakukan yakni mendistorsi suara dari publik yang kontra terhadap pemerintah.

Baca Juga: Terkait Investasi UU Ciptaker, Pakar UGM: Manfaat Lebih kepada Pengusaha Dibanding Buruh

Selain itu, adanya penggiringan opini publik terhadap para pihak yang melakukan unjuk rasa, dan terdapat dua kejadian yang dicatat.

Pertama, akun resmi milik Kepolisian yakni @TMCPoldaMetro disinyalir menyebabkan disinformasi mengenai ambulan milik Provinsi DKI Jakarta yang diduga membawa batu, dan tidak lama berselang informasi tersebut hilang.

Kedua, adanya grup WhatsApp dengan mengatasnamakan siswa Sekolah Teknis Mesin (STM) yang diduga dibuat oleh Kepolisian dengan tujuan untuk melakukan kontra narasi terhadap para aktor yang mengikuti unjuk rasa.

Baca Juga: Sebut Airlangga Cs Tak Paham Omnibus Law, Rocky Gerung: Jokowi Saja Kabur, Pasti Ada Permainan

LPSE Polri mencatat setidaknya lima paket pengadaan barang yang dilakukan dengan keterangan 'tambahan', 'anggaran mendesak', atau 'kebutuhan mendesak' pada periode September 2020 dengan total Rp208.8 miliar.

Hal tersebut terjadi dalam jangka waktu yang relatif pendek, yakni satu bulan, serta menimbulkan pertanyaan dan menguatkan dugaan bahwa Polri terlibat dalam upaya sistematis untuk membungkam kritik dan aksi publik.

Pola seperti ini juga menunjukkan dua hal penting lainnya terkait anggaran dan prioritas belanja Polri. Pertama, Polri tidak memiliki perencanaan anggaran dan belanja yang jelas dan efektif, sehingga muncull belanja-belanja yang tidak sesuai dengan rencana dan prosesnya janggal.

Baca Juga: Kabar Gembira, WHO Umumkan Kemungkinan Adanya Vaksin yang Siap Pada Akhir 2020

Kedua, DPR RI tidak menjalankan fungsinya dengan maksimal. Karena sebenarnya, pagu awal anggaran Polri 2020 hanya Rp90.3 triliun, sebagaimana tertuang dalam RAPBN 2020. Namun, setelah adanya pembahasan di DPR, anggaran tersebut melonjak menjadi Rp104.7 triliun.

Global Corruption Barometer yang diluncurkan oleh Transparency International tahun 2017 mencata bahwa kepolisian masih masuk dalam 3 peringkat tertinggi institusi penerima suap, dan juga masuk dalam peringkat 3 besar dalam hal institusi paling korup.

"Hal ini menunjukkan bahwa prioritas anggaran dan belanja pengadaan barang Polri, tidak pada tempatnya," ujar peneliti ICW.

Baca Juga: Massa Sudah Banyak yang Berjatuhan, Politisi Demokrat: Pak Jokowi! Segeralah Pulang ke Jakarta

Mereka mengungkapkan bahwa Polri seharusnya meningkatkan performa dalam penegakan hukum, salah satunya dalam menindak perkara korupsi.

"Namun, bukannya fokus pada pembenahan internal dan peningkatan kualitas kerja penegakan hukum, Polri justru terkesan menjadi instrumen pemerintah dalam melakukan kekerasan dan pembungkaman sistematis atas kritik dan aksi publik," tutur peneliti ICW.

Padahal, selain kedua hal tersebut merupakan perwujudan dari Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 dan polri, terkait dengan tugas dan kewenangan yang mendukung perwujudan kebebasan tersebut berdasarkan Pasal 14 ayat 1 huruf i UU Polri.

Baca Juga: Puan Maharani Minta Pemerintah Gandeng Masyarakat dan Buruh untuk Bahas Turunan Aturan Ombibus Law

"Telegram Kapolri yang berkaitan dengan upaya pembungkaman kebebasan berpendapat publik juga menunjukkan minimnya kontrol DPR RI dalam memantau dan meminta pertanggungjawaban kinerja Polri, sebagai bagian dari eksekutif," tutur ICW.

Keseluruhan hal tersebut, harus pula dipandang sebagai ketidakmampuan Presiden menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Kepala Pemerintahan dalam mengontrol kinerja jajaran di bawahnya.

"Jika Presiden Jokowi melakukan pembiaran terhadap hal ini, maka dapat dikatakan bahwa presiden Jokowi turut andil dalam buruknya kinerja Polri dan mandeknya upaya reformasi birokrasi di internal Polri, yang sudah menjadi ‘utang’ sejak tahun 2002." tutur peneliti ICW.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: ICW

Tags

Terkini

Terpopuler